
VONIS.ID – Desakan moratorium izin tambang di Kalimantan kembali menguat seiring memburuknya kondisi lingkungan di pulau yang menjadi penyangga ekologis Indonesia itu.
Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia wilayah Kalimantan, yang terdiri dari Gemawan, Pokja30, dan Perkumpulan PADI Indonesia, menegaskan bahwa situasi ekologis di Kalimantan “telah memasuki fase kritis” dan pemerintah tidak lagi bisa menunda penghentian sementara izin pertambangan.
Desakan tersebut disampaikan dalam diskusi hybrid pada Jumat (28/11/2025) yang terhubung dari Pontianak. Sejumlah pemangku kepentingan turut hadir, termasuk Dinas ESDM Kaltim, Dinas Lingkungan Hidup Kaltim, Bappeda Kaltim, JATAM, dan WALHI. PWYP menilai pemerintah pusat dan daerah harus mengambil langkah cepat untuk mengendalikan ekspansi tambang yang makin massif.
PWYP: Kalimantan Masuki Fase Darurat Ekologis
Laili Khairnur, Direktur Eksekutif Gemawan sekaligus ketua pelaksana diskusi, menegaskan bahwa kerusakan lingkungan di Kalimantan bukan lagi persoalan skala kecil. Ia menyebut negara gagal memastikan perlindungan ekologis di tengah derasnya aktivitas ekstraksi.
“Kerusakan ekologis terjadi nyata. Kualitas hidup masyarakat di sekitar tambang ikut menurun,” kata Laili,
Ia menjelaskan, puluhan lubang bekas tambang di Kalimantan Timur (Kaltim) masih dibiarkan tanpa reklamasi memadai. Korban jiwa terus berjatuhan setiap tahun karena lubang-lubang tersebut tidak pernah ditangani serius.
Transisi antar isu menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan di Kalimantan bergerak seiring lemahnya penegakan hukum dan kepatuhan perusahaan.
Pengawasan Tambang Lemah, Sentralisasi Perizinan Lemah
Buyung Marajo, Koordinator Pokja30 Kaltim, memaparkan data yang mempertegas lemahnya pengawasan pertambangan. Ia menyoroti ketergantungan 10 daerah di Kaltim pada dana bagi hasil migas dan batu bara, meski dampak ekologisnya sangat besar.
Menurut Buyung, setelah revisi UU Minerba melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, kewenangan perizinan dan pengawasan tambang dipusatkan ke pemerintah pusat. Namun, sentralisasi itu tidak membuahkan perbaikan.
“Di Kaltim, hanya 19 inspektur tambang mengawasi 1.400 izin. Wajar kalau banyak pelanggaran tidak terpantau,” ujarnya.
Ia juga menilai Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022 tidak memperkuat transparansi maupun kompetisi perizinan di level provinsi. Proses perizinan tetap mahal, tertutup, dan rentan penyalahgunaan.
Buyung menyebut kerugian negara akibat tata kelola buruk mencapai Rp5,7 triliun, belum termasuk konflik lahan dengan masyarakat adat yang terus berulang.
Ancaman Biodiversitas: Konsesi Masuk Kawasan Hutan
Among dari Perkumpulan PADI Indonesia mengingatkan bahwa krisis ekologis di Kalimantan bukan hanya soal lubang tambang dan pencemaran air. Ia menyoroti hilangnya keanekaragaman hayati akibat aktivitas ekstraktif yang justru menembus kawasan-kawasan hutan.
“Di Kaltim, 38 persen cadangan batu bara nasional berada dalam konsesi seluas 1,5 juta hektare. Sekitar 29 persen berada di ekosistem hutan, termasuk 55 ribu hektare hutan primer,” ujar Among.
Menurutnya, narasi transisi energi yang mendorong ekstraksi nikel dan mineral kritis justru membuka babak baru ekspansi pertambangan, bukan memperbaiki kerusakan ekologis.
Among menilai moratorium tambang merupakan langkah penting untuk mengoreksi arah pembangunan nasional. Namun ia pesimistis karena kebijakan pemerintah saat ini masih mengedepankan penerimaan negara dari komoditas ekstraktif.
Tambang Ilegal Semakin Masif, Pengawasan Tak Mampu Mengimbangi
Selain pertambangan berizin, Kalimantan juga menghadapi lonjakan tambang ilegal. PWYP menyoroti sejumlah kasus, termasuk temuan Direktorat Jenderal Gakkum Kementerian ESDM pada November 2025 di dekat kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN) dengan produksi ilegal mencapai 6.000 ton.
Laili mengingatkan bahwa kasus tersebut hanya satu contoh kecil. Ia menyinggung kasus besar di Ketapang, Kalbar, pada 2024 ketika warga negara asing asal Tiongkok menambang emas dari terowongan bekas tambang legal. Perkiraan kerugian negara lebih dari Rp1 triliun akibat hilangnya ratusan kilogram emas dan perak.
PWYP mencatat jumlah inspektur tambang nasional hanya 492 orang untuk mengawasi 4.409 izin. Ketidakseimbangan itu membuat pengawasan tidak efektif, terutama di wilayah luas seperti Kalimantan.
PWYP: Revisi UU Minerba 2025 Buka Lebar Keran Izin Tambang
PWYP menilai revisi UU Minerba pada Februari 2025 menjadi bukti bahwa pemerintah semakin membuka keran izin tambang. Narasi moratorium yang sempat menguat di publik kini meredup karena kebijakan negara justru memberi ruang lebih luas bagi industri ekstraktif.
Laili menyatakan bahwa moratorium adalah langkah awal untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi.
“Padahal kerusakan lingkungan dan penurunan kualitas hidup dirasakan nyata. Moratorium adalah langkah awal yang tak bisa lagi ditunda.”
Moratorium Tambang Sebagai Jalan Perbaikan Tata Kelola
PWYP berharap diskusi ini menjadi tekanan moral dan politik bagi pemerintah pusat dan daerah.
Moratorium tambang sebagai pintu masuk untuk memperbaiki reklamasi, memperkuat transparansi informasi, serta mengembalikan hak masyarakat adat yang terpinggirkan akibat ekspansi tambang.
Kalimantan sebagai paru-paru Nusantara disebut berada dalam titik kritis. Jika eksploitasi terus berlanjut tanpa jeda dan tanpa pengawasan ketat, PWYP memperingatkan bahwa kerusakan yang terjadi tidak hanya mengancam masa kini, tetapi juga masa depan generasi berikutnya.
(Redaksi)
