IMG-LOGO
Home Hukum Bedah RUU KUHAP di Universitas Mulawarman, Ketua Komisi Kejaksaan RI Sanksi Pengunaan Kata Ambigu
hukum | Umum

Bedah RUU KUHAP di Universitas Mulawarman, Ketua Komisi Kejaksaan RI Sanksi Pengunaan Kata Ambigu

oleh Alamin - 16 April 2025 10:56 WITA

Bedah RUU KUHAP di Universitas Mulawarman, Ketua Komisi Kejaksaan RI Sanksi Pengunaan Kata Ambigu

VONIS.ID – Pembahasan Revisi Undang-undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dibahas oleh sejumlah praktisi hukum bersama para akad...

IMG
Ketua Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, Prof Dr Pujiyoni Suwani saat berbicara tentang kecatatan dan ambiguitas dalam RUU KUHAP di Fakultas Unmul Samarinda, Rabu (16/4/2025). (IST)

VONIS.ID – Pembahasan Revisi Undang-undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dibahas oleh sejumlah praktisi hukum bersama para akademisi di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman pada Rabu (16/4/2025) siang tadi.

Dalam pembahasan membedah RUU KUHAP itu, Fakultas Hukum Unmul Samarinda menggelar seminar resmi bertajuk ‘RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Masa Depan Penegakan Hukum di Indonesia’ di Gedung Serbaguna Lantai IV Rektorat Unmul Samarinda.

Dalam pembahasan akademik itu, Ketua Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, Prof. Dr. Pujiyono Suwani, S.H, M.H yang hadir sebagai narasumber menekankan pentingnya penggunaan bahasa yang jelas dan lugas dalam RUU KUHAP, agar tidak ambigu atau terjadinya multitafsir di masyarakat.

“Salah satu contoh, di dalam rancangan ini ada di (Bab II Penyelidikan dan Penyidikan) Pasal 5 ayat (2), penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa ; a. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, Penggeledahan dan Penahanan,” jelas Prof Pujiyono.

Dalam poin ini, ambiguitas terdapat pada kata ‘Penangkapan dan Penahanan’.

“Tindakan penyelidik bukan untuk mencari alat bukti, ini hanya untuk mengumpulkan peristiwa hukum. Ini bukan projusticia. Bahkan di dalam KUHAP ini, penyelidikan dan penyidikan ini jadi sub bab sendiri-sendiri, kalau kita mengacu pada KUHP baru, harusnya tidak ada itu,” terangnya.

Lanjutnya, para audiens diminta membayangkan dalam tahap penyelidikan bisa melakukan penahanan dan penangkapan seseorang.

“Kalau misalnya bapak/ibu, pilihan afiliasi politiknya berbeda, entah karena apa (alasan yang jelas) itu bapak/ibu bisa ditangkap. Mendasarkan pasal ini, karena alasan perintah penyidik. Karena alasan perintah itu sejatinya alasan yang bisa dibuat. Ini sangat bahaya, kalau ini sampai bisa lolos,” tegasnya.

Selain itu, Prof Pujiyono juga membahas RUU KUHAP dalam Pasal 16. Di pasal itu, dia menyebutkan ada narasi yang bisa lebih berbahay dari sebelumnya.

“Dalam Pasal 16, ayat (1) poin j dan k disebutkan kalau penyelidikan dapat dilakukan dengan caara mendatangi atau mengundang seseorang untuk memperoleh keterangan dan atau, kegiatan yang lain tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” katanya.

“Ini rawan dengan abuse of powernya. Coba kita bayangkan, kita didatangi penyelidik, diundang, kalau tidak datang tetap akan ada konsekuensinya. Bahkan di poin K tentang kegiatan lain yang tidak bertentangan ini bisa bermaca-macam terjemahannya,” kata Prof Pujiyono lagi.

Dari banyaknya paparan yang diberikan Prof Pujiyono, RUU KUHAP saat ini dinilai masih jauh dari kata sempurna, maka sangat diperlukan sumbangsih pemikiran semua pihak.

“Karena ini yang akan kita wariskan kepada anak cucuk kita. Jangan anda bayangkan satu dua tahun ke depan, karena kita melihat usia KUHAP dalam 45 tahun, maka ini akan diturunkan hingga ke anak bahkan cucuk kita,” tandasnya.

Untuk diketahui, Seminar ‘RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Masa Depan Penegakan Hukum di Indonesia’ ini juga menghadirkan sejumlah narasumber seperti Ketua Komisi Kejaksaan RI, Pujiyono Suwandi, mantan Wali Kota Samarinda Syaharie Ja’ang, Wakil Ketua DPD PERADI SAI Kaltim Sastiono Kesek dan Dosen FH Unmul, Ivan Zairani Lisi, serta dimoderatori oleh Ulil Amri. (tim redaksi)

Berita terkait