
VONIS.ID — Pengadilan Kriminal Perdamaian Istanbul mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan 36 pejabat senior pemerintahannya atas tuduhan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Jalur Gaza.
Langkah hukum tersebut diumumkan oleh Kantor Kejaksaan Istanbul pada Jumat (7/11) malam waktu setempat dan menandai eskalasi terbaru dalam ketegangan diplomatik antara Ankara dan Tel Aviv.
Dalam pernyataan resminya, Kejaksaan menyebut para pejabat Israel itu memikul tanggung jawab pidana atas tindakan sistematis yang dilakukan terhadap warga sipil di Jalur Gaza sejak Oktober 2023.
Tindakan tersebut, lanjut pernyataan itu, mengakibatkan ribuan warga Palestina, termasuk perempuan dan anak-anak, kehilangan nyawa dan menyebabkan kehancuran besar di kawasan permukiman.
Kantor Kejaksaan menyebut tuduhan yang diajukan terhadap Netanyahu dan pejabat lain mencakup dua pasal utama dalam Kitab Undang-Undang Pidana Turki (TCK): Pasal 76 tentang genosida dan Pasal 77 tentang kejahatan terhadap kemanusiaan.
“Berdasarkan bukti yang diperoleh, telah ditetapkan bahwa para pejabat negara Israel memikul tanggung jawab pidana atas tindakan sistematis yang dilakukan di Jalur Gaza,” tulis Kejaksaan Istanbul dalam keterangan tertulisnya yang dikutip kantor berita Anadolu Agency (AA).
Meski demikian, pihak kejaksaan mengakui bahwa para tersangka tidak berada di wilayah Turki, sehingga penangkapan fisik belum dapat dilakukan.
Surat perintah itu, menurut pejabat hukum Turki, akan tetap berlaku sebagai dasar hukum untuk proses hukum lanjutan di masa mendatang.
Selain Netanyahu, surat perintah penangkapan juga mencantumkan nama Menteri Pertahanan Israel Yisrael Katz, Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir, Kepala Staf Umum Militer Israel Letnan Jenderal Eyal Zamir, dan Komandan Angkatan Laut Israel Laksamana David Saar Salama.
Kejaksaan menuding bahwa keempat pejabat tersebut memiliki peran langsung dalam operasi militer Israel di Gaza yang, menurut Turki, menargetkan fasilitas sipil seperti rumah sakit, sekolah, dan tempat penampungan pengungsi.
Turki secara khusus menyinggung pemboman Rumah Sakit Persahabatan Turki–Palestina, fasilitas kesehatan yang dibangun Ankara di Gaza dan hancur akibat serangan udara Israel pada Maret lalu.
“Serangan terhadap rumah sakit yang dibiayai dan dijalankan oleh Turki merupakan pelanggaran nyata terhadap hukum humaniter internasional,” kata pernyataan Kejaksaan.
Turki, di bawah pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdoğan, telah menjadi salah satu pengkritik paling vokal terhadap perang Israel di Gaza.
Ankara menuduh Israel melakukan “pembersihan etnis” terhadap warga Palestina dan menyebut operasi militer di Gaza sebagai “genosida modern.”
Tahun lalu, Turki bergabung dengan gugatan Afrika Selatan di Mahkamah Internasional (ICJ) yang menuduh Israel melakukan genosida.
Dalam forum internasional itu, Turki menyerahkan dokumen hukum tambahan yang memperkuat klaim pelanggaran terhadap Konvensi Genosida 1948.
Amerika Serikat, sekutu utama Israel, sejauh ini belum memberikan tanggapan resmi terhadap surat perintah penangkapan itu.
Namun beberapa analis menilai Washington kemungkinan besar akan menolak validitas langkah hukum Turki, karena menganggap yurisdiksi kasus ini berada di bawah Mahkamah Pidana Internasional (ICC), bukan pengadilan nasional.
Secara praktis, surat perintah ini belum akan berimplikasi langsung terhadap Netanyahu atau pejabat Israel lainnya karena tidak ada mekanisme ekstradisi antara Turki dan Israel.
Namun secara simbolis, langkah tersebut memperkuat tekanan internasional terhadap Israel di tengah meningkatnya kritik global atas operasi militernya di Gaza.
Langkah hukum ini juga berpotensi memperdalam jurang diplomatik antara Ankara dan Tel Aviv, yang baru memulihkan hubungan diplomatik penuh pada 2022 setelah bertahun-tahun memburuk akibat serangan Israel terhadap kapal bantuan Mavi Marmara pada 2010. (*)
