VONIS.ID - Ajudan Puan Maharani diduga melakukan pelecehan seksual terhadap seorang wartawati.
Hal ini pun membuat Puan Maharani didesak untuk mengambil tindakan.
Dugaan pelecehan tersebut terjadi ketika Ganjar Pranowo-Mahfud MD menggelar kampanye akbar di Semarang, Sabtu (10/2/2024).
Salah satu wartawati media cetak diduga menjadi korban pelecehan seksual saat melakukan tugas peliputan.
Terduga pelaku disebut-sebut salah satu ajudan Puan Maharani yang saat di lokasi memakai ear monitor.
Salah satu jurnalis media nasional lainnya, sempat melihat terduga pelaku meninggalkan backdrop atau belakang panggung tersebut.
"Dugaanku ADC karena pakai seragam pakai eraphone dan HT," kata wartawati tersebut.
Merespon kejadian itu, PWI Jawa Tengah meminta Puan Maharani dan Tim Kampanye Ganjar-Mahfud untuk bertanggungjawab terkait dugaan pelecehan tersebut.
Wakil Ketua PWI Jateng Zaenal Abidin Petir menegaskan, sikap PWI jelas dan siap mendampingi korban melakukan pembelaan agar kasus ini bisa di usut secara tuntas
"Kami mendesak kepada Mbak Puan dan Tim Kampanye Ganjar Mahfud harus ikut bertanggung jawab" tegas Zaenal, Minggu (11/2/2024).
Zainal menilai tindakan pelaku sangat biadab apalagi dilakukan di depan publik.
"Sangat menjijikkan dan memalukan sehingga tindakan dari pelaku tidak cukup minta maaf tapi harus dilaporkan Polisi. Tindakan pelecehan wartawati sama saja merendahkan dan menjatuhkan martabat wartawan," jelas dia.
Sementara sang Wartawati menceritakan kejadian yang dialami bermula saat Puan hendak mengajak foto.
Namun dirinya kemudian dihalau oleh terduga pelaku.
"Dia bilang bilang awas-awas, tapi tangannya pegang kemaluan," ungkap sang wartawati kepada awak media.
Menurutnya, sentuhan di bagian intim itu yang dilakukan ajudan itu terjadi dua kali.
"Setelah dua kali itu dia bilang 'sorry, sorry'. Aku sempat bilang 'ini kemaluan lho mas'. Orangnya langsung pergi," jelas dia.
Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marginal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang, Riska Farasonalia mengecam keras dugaan pelecehan yang terjadi.
Ia menegaskan, UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 4 ayat 3 menjamin kemerdekaan pers.
Aturan itu menyebutkan pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Siapa saja yang sengaja melawan hukum, menghambat, atau menghalangi ketentuan Pasal 4 ayat 3, maka dapat dipenjara maksimal 2 tahun, dan denda paling banyak Rp 500 juta.
"Kami berpandangan perbuatan pelaku termasuk menghalangi kerja jurnalistik. Intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis dilarang sesuai Undang-Undang Pers," ujar Riska melalui keterangan tertulis. (tim redaksi/suara.com)