Jumat, 20 September 2024

Praktisi Hukum UINSI Samarinda Nilai Surat Edaran Tak Bisa Intervensi Pemda

Selasa, 11 Oktober 2022 21:48

TALKSHOW - Suwardi Sagama (dua dari kanan) saat menghadiri diskusi pembahasan pemberian insentif guru yang juga dihadiri Wali Kota Samarinda, Andir Harun (dua dari kiri) beberapa waktu lalu. (VONIS.ID)

VONIS.ID - Adanya Surat Edaran (SE) Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi Guru Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan bernomor 6909/B/GT.01.01/2022 yang ditujukan untuk Gubernur/ Walikota/ Bupati di seluruh Indonesia perihal tunjangan profesi guru (TPG), tambahan penghasilan ASN di daerah dan tambahan penghasilan pegawai (TPP) ASN di daerah turut disorot oleh praktisi hukum Kota Tepian.

Dia adalah Suwardi Sagama selaku Akademisi Hukum dari Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda (UINSI Samarinda).

Suwardi menegaskan bahwa yang tertuang dalam SE yang diterbitkan tanggal 6 Oktober 2022 itu tidak bisa mengintervensi langkah pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan.

“Persoalan SE itu tidak ada implikasi hukum, karena dia bentuknya untuk menegaskan persoalan yang ada termasuk terjadinya pertentangan yang ada dilingkup mereka, yakni diinternal pendidikan. Yang mana tujuan dari itu agar mereka yang di bawah memahami persoalan yang ada,” tegas Suwardi saat dihubungi Selasa (11/10/2022).

Lebih jauh diungkapkannya, dalam hirarki perundang-undangan SE Dirjen Kemendikbud sejatinya hanya bersifat rujukan dan coba menegaskan peraturan berlaku di internal dunia pendidikan. 

“Karena ini yang mengeluarkan Dirjen Pendidikan maka berarti itu untuk di internal dinas pendidikan seharusnya begitu. Tapi karena dinas pendidikan ini di bawah pemkot, maka mau tidak mau terikut ke pemkot,” jelasnya.

Kemudian pada telaahan yang kedua, Suwardi menilai persoalan dari peraturan yang berada di atas SE Dirjen yakni Permendisbutristek Nomor 4 2022 tentang petunjuk teknis pemberian tunjangan profesi, tunjangan khusus dan tambahan pengahsilan guru ASN di daerah provinsi maupun kabupaten/kota.

“Itu apakah bertentangan atau tidak. Ini yang harus kita bedah dulu. Karena sejauh ini yang diinginkan teman-teman guru itu terkait insentif TPP sedangkan yang diatur dalam Permendikbud itu bukan TPP,” paparnya.

Selain adanya sedikit perbedaan dari SE Dirjen den Permendikbud, kemudian hal lain seperti Permendagri Nomor 84 2022 tentang penyusunan APBD 2023 yang juga harus dilakukan telaahan lebih jauh. 

“Sedangkan dalam hal ini petunjuk pedomannya berada di dalam pedoman pemberian TPP bagi lingkungan ASN di pemerintahan daerah,” tegasnya.

Dari ketiga hal yang telah disebutkannya, Suwardi juga menilai seyogyanya hal-hal tersebut tentu tidak akan seimbang dan sebanding jika diperdebatkan. Alasanya, karena Permendibudristek dalam rujukannya menggunakan sumber APBN sedangkan aturan pemberian TPP dimuat untuk pemanfaatan dana dari sumber APBD.

“Jadi kalau yang Permendikbud sumbernya dari APBN sedangkan yang TPP itu sumbernya dari APBD. Jelas dari sumber yang berbeda. Jadi kalau ingin diperhadapkan sungguh itu tidak imbang. Kecuali misalnya mendagri di surat keputusan itu menghadapkan dengan TGP yang ada di Permendikbud itu boleh lah, tapi ini kan tidak,” bebernya. 

Terkahir, Suwardi pun kembali menekankan bahwa pelaksanaan SE Dirjen Kemendikbud hanya sekadar rekomendasi bagi pemerintah daerah untuk menentukan langkah keputusan. Khususnya terkait polemik yang tengah kencang berhembus terkait pemberian insentif guru.

“Di dalam setiap SE tidak pernah ada redaksi yang menyatakan kalau tidak melakukan apa yang dianjurkan itu adalah suatu kesalahan. SE ini sekali lagi untuk memperjelas tapi sejatinya tidak memiliki implikasi hukum dan kembali ke masalah moralitas. 

(redaksi)

Baca berita kami lainnya di
Tag berita:
Beritakriminal