Jumat, 22 November 2024

Nasional

Satgas BLBI Baru Mampu Kumpulkan Rp 30 Triliun dari Rp 110 Triliun Kerugian Negara

Kamis, 8 Juni 2023 8:34

Salah satu upaya penanganan aset properti yang dilakukan adalah penguasaan aset tanah dan bangunan melalui pemasangan plang pengamanan yang bertujuan untuk penyelesaian dan pemulihan hak negara dari dana BLBI oleh Satgas BLBI. (djkn.kemenkeu.go.id)

VONIS.ID - Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau Satgas BLBI telah mencatat perolehan aset dan penerimaan negara Rp 30,65 triliun hingga 30 Mei 2023. 

Angka ini masih jauh dari target yang ditentukan yaitu Rp 110 triliun. 

Satgas BLBI sudah berjalan selama dua tahun sejak dibentuk pada April 2021. 

Masa kerja satgas ini hingga akhir tahun ini tepatnya pada 31 Desember 2023. 
Oleh sebab itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta Satgas BLBI untuk mengejar hak negara senilai Rp 110 triliun hingga akhir 2023.

“Semoga Satgas BLBI terus meningkatkan kinerjanya, prestasinya. Ingat finish line-nya itu Rp 110 triliun Pak Rio [Ketua Satgas BLBI]," ucap Sri Mulyani.

Kini, Satgas BLBI memiliki waktu sekitar 6 bulan untuk mengejar sisa hak tagih negara hingga akhir 2023. 

Ketentuan itu diatur dalam Keputusan Presiden 6/2021 tentang Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI.

Ketua Satgas BLBI Rionald Silaban memaparkan rincian perolehan aset dan penerimaan negara bukan pajak.

Adapun jumlah aset seluas 3.980,6 hektare dan nilainya Rp 30,65 triliun.

Diantaranya dalam bentuk uang alias PNBP ke kas negara senilai Rp 1,11 triliun. 

Kemudian penyitaan dan penyerahan barang jaminan/harta kekayaan lain senilai Rp 14,77 triliun, penguasaan fisik aset properti senilai Rp 9,27 triliun.

Berikutnya, penanganan dengan cara penyerahan aset kepada Kementerian/Lembaga dan Pemda dengan nominal Rp 3 triliun, serta penyertaan modal negara (PMN) nontunai sejumlah Rp 2,4 triliun.

Satgas BLBI akan terus menggiatkan upaya pengembalian hak tagih negara dari debitur/obligor aset eks BLBI dan memastikan obligor/debitur atau pihak manapun tidak mengambil hak negara," tutur Rionald Silaban.

Sebagaimana diketahui, Presiden Jokowi menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satgas BLBI.

Dalam Pasal 12 Keppres ini, Satgas Penanganan Hak Tagih Negara BLBI bertugas sejak Keputusan Presiden ditetapkan sampai dengan tanggal 31 Desember 2023. 

Karena masa tugas Satgas BLBI ini hampir berakhir, Ketua Satgas Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI Rionald Silaban meminta masa tugas diperpanjang. 

Meski meminta perpanjangan waktu, Rio mengaku akan tetap memberikan laporan hasil kinerja Satgas BLBl selama 2 tahun terakhir. 

Dia berjanji laporan tersebut akan sampai di meja Presiden Joko Widodo pada Oktober 2023.

Sejarah Kasus BLBI

Kasus BLBI lahir dari dampak krisis moneter yang terjadi pada 1998. 

Bermula dari upaya pemerintah menyelamatkan perekonomian Tanah Air dari melemahnya rupiah ke level 15.000 per dolar Amerika kala itu. 

Pelemahan mata uang Garuda terhadap greenback secara signifikan menyebabkan aksi penarikan uang berjamaah di bank-bank Tanah Air pada 1997. 

Alhasil, tidak butuh waktu lama likuiditas di perbankan Tanah Air ikut terkuras dan berujung pada kredit perbankan macet. 

Untuk mengatasi kesulitan likuiditas bank-bank tersebut, pemerintah dan Bank Indonesia sepakat menanggung beban bersama lewat skema bantuan yang dikenal dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia BLBI

Dana Moneter Internasional (IMF) juga meminta Indonesia untuk menyuntikkan dana bantuan kepada sejumlah bank yang mengalami krisis. 

Kemudian, pada Desember 1998, BI mengguyur bantuan kepada 48 bank di Indonesia melalui skema BLBI dengan besaran mencapai Rp 144,53 triliun. 

Namun, pada 2000, Badan Pemeriksa Keuangan menemukan indikasi kerugian negara sebanyak Rp 138,7 triliun dari penyaluran dana BLBI

Selain itu, hasil temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan memperlihatkan penyimpangan dana hingga Rp 54,5 triliun oleh 28 bank penerima dana BLBI tersebut. 

Kasus semakin memanas pada 2002, saat Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002. 

Instruksi tersebut mengenai pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menuntaskan kewajiban maupun yang mangkir dari kewajibannya. 

Berdasarkan kebijakan tersebut, Badan Penyehatan Perbankan Nasional juga ditugaskan menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk bank yang membereskan utangnya. 

Sedangkan mereka yang belum membayarkan kewajibannya akan dikenakan sanksi. 

Ada 12 debitur yang menerima SKL di masa pemerintahan Megawati. 

Lahirnya Inpres menyimpan banyak kejanggalan dengan indikasi personal approach oleh para debitor terhadap pemerintahan masa itu. 

Para debitor tersebut di antaranya Hendra Liem (Bank Budi Internasional), The Nin King (Bank Danahutama), dan Ibrahim Risjad (Bank RSI). 

Lalu ada Sudwikatmono (Bank Surya), Siti Hardijanti Rukmana (Bank Yakin Makmur), Anthony Salim (Bank BCA), Suparno Adijanto (Bank Bumi Raya), dan Mulianto Tanaga dan Hadi Wijaya Tanaga (Bank Indotrade). 

Pengusaha selanjutnya ykani Philip S. Widjaja (Bank Mashill), Ganda Eka Handria (Bank Sanho), serta Sjamsul Nursalim (Bank Dagang Nasional Indonesia).

Beberapa bankir lain yang terindikasi menyelewengkan dana BLBI pun diburu dan diseret ke meja hijau. 

Sejumlah mantan direktur Bank Indonesia seperti Hendro Budiyanto, Paul Soetopo Tjokronegoro, dan Heru Supratomo menjadi terpidana kasus korupsi tersebut. 

Sejumlah obligor juga tercatat melarikan diri saat dipidana, seperti Direktur Bank Pelita Agus Anwar dan Alexander.

 Ada juga Direktur Bank Indonesia Raya atau Bank Bira, Atang Latif. 

Selanjutnya, ada juga terpidana seumur hidup untuk kasus penyelewengan dana BLBI

Hukuman tersebut jatuh pada Hendra Rahardja, yang kemudian meninggal ketika melarikan diri ke Australia. 

Dia terbukti bersalah dan diketahui melakukan penggelapan dana sebesar Rp 2,65 triliun.

Sederet nama dari penerima dana pun diduga bersalah terhadap dugaan penyelewengan BLBI, namun banyak kasus yang akhirnya terhenti lantaran pemberian SP3 (Surat Pemberhentian Penyidikan Perkara) oleh pihak berwenang.

(redaksi)

Baca berita kami lainnya di
Tag berita:
Berita terkait
Beritakriminal