VONIS.ID - Perang antara Rusia dengan Ukraina ternyata tak hanya terkait konflik geopolitik, namun ada persoalan agama yang melatarbelakangi pecahnya perang.
Dilansir dari CNBC Indonesia, tujuh bulan sebelum melancarkan serangan ke Ukraina, Presiden Rusia, Vladimir Putin menulis sebuah esai panjang berjudul On the Historical Unity of Russian and Ukrainian.
Dalam esainya, Vladimir Putin menegaskan bahwa bangsa Rusia, Belarusia, dan Ukraina terikat oleh kesamaan agama, bahasa, dan tradisi budaya.
Bila mengacu pada sejarah, kesamaan itu dapat ditarik mundur ke tahun 988.
Saat itu, terjadi penyebaran agama Kristen dari Ukraina ke seluruh Rusia.
Hal ini disebabkan karena penguasa Kyiv, Vladimir the Great atau Vladimir I resmi menjadi umat kristiani.
Berkat hal tersebut, ia kemudian jadi aktor penting di balik kristenisasi seluruh rakyat Rusia yang kemudian jadi cikal bakal Gereja Ortodoks Rusia.
Dari sinilah agama Kristen menyebar dan lambat laun menyatu dengan Rusia sehingga tercipta rasa nasionalisme dan spiritualitas di antara mereka yang sangat kuat.
Dilansir dari AFP, atas dasar tersebutlah Kyiv memiliki kedudukan penting bagi dunia keagamaan Rusia.
Sejak saat itu, relasi keduanya pun terjalin mapan hingga berabad-abad.
Kyiv jadi bagian tak terpisahkan dari kekristenan Ortodoks Rusia.
Namun, ketika konsep 'negara-bangsa' terbentuk, hubungan keduanya lantas tak lagi sama, terlebih ketika Uni Soviet bubar pada 1991.
Setelah hancurnya negara komunis itu, Kyiv kemudian jadi ibu kota Ukraina.
Pada saat bersamaan, mereka juga menulis sejarah versi mereka sendiri yang menurut Putin dalam esainya telah memojokkan Rusia atau Uni Soviet dengan menganggap episode sejarah bersamanya sebagai pendudukan.
Kemunculan berbagai sentimen dari elite kedua negara dan pihak eksternal lantas mendorong munculnya persaingan yang tidak terhindarkan dan tidak dapat dijaga oleh perasaan spiritual semata. Puncaknya terjadi pada 2019.
Mengutip tulisan Giles Fraser di LSE, pada tahun tersebut Gereja Ortodoks Ukraina yang sudah mengejar otonomi sejak lama, telah menyatakan kemerdekaannya dari Gereja Ortodoks Rusia, sekaligus tidak lagi bersekutu dengan anggota keluarga Ortodoks lainnya.
Menyikapi hal ini, Gereja Ortodoks Rusia marah dan menolak klaim kemerdekaan ini.
Mengutip tulisan "Russia's war on Ukraine: The religious dimension", dari sinilah terjadi perpecahan bersejarah dalam keluarga Ortodoks yang menjelma lebih dari persoalan spiritual semata.
Ukraina dinilai telah "menghina" nilai-nilai tradisi keagamaan Rusia sekaligus melupakan Rusia dalam catatan masa lalu Ukraina.
Alhasil, emosi Putin meningkat hingga membuatnya menulis esai 5.000 kata itu.
Meski demikian, esai itu dinilai sangat tidak logis karena secara eksplisit memperlihatkan keinginan Rusia merebut kedaulatan negara lain berdasarkan konsep kebangsaan yang hadir sejak ribuan tahun lalu.
Permasalahan agama ini kemudian larut dalam invasi Rusia ke Ukraina.
Serangan ke Ukraina tak hanya dipandang motif ideologi, tetapi untuk memurnikan kembali nilai keagamaan.
Bahkan, baru-baru ini Gereja Ortodoks Rusia menyebut Putin sebagai "Pengusir Setan".
Hal ini karena keberhasilannya menghabisi Ukraina yang telah memaksa warganya untuk meninggalkan nilai-nilai tradisi agama dan ortodoks Rusia.
(redaksi)