VONIS.ID - Kabar tak sedap yang menyeret pejabat Kabinet Presiden Jokowi kembali mencuat ke publik.
Pejabat kabinet Presiden Jokowi dicurigai terlibat dalam bisnis tes PCR di Indonesia.
Diantaranya Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan.
Pasalnya, PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) yang menjadi perusahaan penyedia tes Covid di Indonesia disebut didirikan Luhut dan 8 pemegang saham lainnya.
Akan tetapi, Juru Bicara Menko Marves, Jodi Mahardi menegaskan bahwa tak ada konflik kepentingan dari keterlibatan Luhut di PT GSI.
Namun, Jodi mengakui memang sebelumnya ada sejumlah pengusaha yang berniat membantu penanganan pandemi pada awal 2020.
Para pengusaha tersebut mengajak Luhut mendirikan PT GSI yang fokus melayani tes Covid-19.
Jodi menyampaikan PT GSI tidak pernah membagikan deviden, termasuk untuk Luhut.
Keuntungan digunakan untuk menggelar tes Covid-19 gratis secara massal.
"GSI ini tujuannya bukan untuk mencari profit bagi para pemegang saham. Sesuai namanya, GSI ini Genomik Solidaritas Indonesia, memang ini adalah kewirausahaan sosial," kata Jodi dikutip dari cnnindonesia.com.
Dugaan Keterlibatan Luhut Ikut Bisnis Tes PCR di PT GSI
Asfinawati selaku, Ketua YLBHI mengatakan apa yang telah terlihat itu menunjukkan memang ada peran Luhut dalam bisnis PCR.
"Luhut penerima manfaat yang lebih kecil, poinnya adalah terindikasi tidak jujur, meski [sahamnya di PT GSI] hanya 10 persen," tutur Asfinawati.
Asfin sapaanya menyebut sejumlah pejabat pemilik manfaat itu, meski memiliki persentase saham yang kecil, tak menutup kemungkinan hal tersebut bisa berpengaruh pada bisnis PCR di Indonesia selama ini.
Menurutnya, keterlibatan Luhut bisa dibuktikan dengan kepemilikan saham 10 persen tersebut.
Sehingga dengan bukti tersebut, baik Luhut dan menteri lainnya yang terlibat bisa disangkakan melanggar Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
"Baik Perpres beneficial ownership dan UU tentang pemerintahan yang bersih dari KKN semangatnya membuktikan dan larangan. Jadi nepotisme itu tidak harus membuktikan ada korupsi," pungkas Asfinawati. (*)