VONIS.ID, SAMARINDA – Kasus korupsi jilid II yang kembali menyeret eks Bupati Penajam Paser Utara (PPU), Abdul Gaffur Masud telah memasuki ujung persidangan.
Pada sidang beragenda putusan vonis, AGM kembali dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan dijatuhi hukuman 6 tahun penjara serta denda Rp 600 juta.
“Kemarin kita putuskan pidana selama 6 tahun, denda Rp 300 juta, subsider 3 bulan dan Uang Pengganti Rp 6 miliar lebih,” jelas Wakil Kepala Pengadilan Negeri Samarinda, Ary Wahyu Irawan, Rabu (4/9/2024).
Lanjut dijelaskannya, putusan vonis pada kasus korupsi jilid II AGM ini lebih rendah dari yang dituntutkan oleh JPU KPK.
Yang mana pada agenda sebelumnya, JPU KPK menuntut AGM dengan kurungan 7 tahun penjara, denda Rp 600 juta, subsider 6 bulan dan uang pengganti lebih Rp 6 miliar.
“Betul pada tuntutan sebelumnya 7 tahun, denda Rp 600 juta subsider 6 bulan dan uang pengganti Rp 6 miliar. Namun putusan ini berdasarkan fakta-fakta persidangan dan pertimbangan pada saat agenda pembelaan terdakwa,” tambahnya.
Setelah memberi vonis hukuman, lanjut Ary, pihak terdakwa dalam persidangan sempat mengaku akan mengajukan banding tersebut.
Namun hingga berita ini diturunkan, Ary mengaku kalau dari kuasa hukum terdakwa masih belum mengajukan akta resmi pengajuan banding.
“Kemarin dalam persidangan sebelumnya memang ada menyatakan akan mengajukan banding. Namun hingga saat ini belum ada akta resmi pengajuannya, karena ini juga memang masih ada waktu. Tapi jika tidak ada sampai waktunya, maka putusan (vonis) akan berkuatan hukum tetap,” pungkasnya.
Sebelumnya, AGM eks Bupati PPU dinyatakan bersalah dalam korupsi penyertaan modal di dua badan usaha Pemkab PPU hingga dirinya kembali divonis 6 tahun penjara.
Menurut majelis, apa yang diurai penuntut umum KPK dalam perkara ini sudah terurai jelas dalam persidangan yang berjalan.
Terlebih ada tiga terdakwa lain yang lebih dulu sudah terbukti dalam perkara ini. Mereka, Direktur Perusahaan Umum Daerah (perumdam) Penajam Benuo Taka (PBT) Heriyanto, Kepala Bagian Keuangan PBT Karim Abidin, dan Direktur Utama Penajam Benuo Taka Energi (PBTE) Baharun Genda.
Untuk diketahui, persidangan jilid II yang kembali menjerat AGM ini bermula pada akhir 2020, tepatnya ketika Pemkab PPU menerbitkan dua peraturan daerah (perda) terkait penyertaan modal ke dua badan usaha tersebut. Perda 6/2020 untuk modal ke PBTE dengan nilai Rp 10 miliar dan diberikan bertahap selama 4 tahun.
Yakni pada 2021 sebesar Rp 3,6 miliar, pada 2022 sebesar Rp 2,4 miliar dan Rp 2 miliar pada 2023 dan 2024.
Anggaran ini disiapkan untuk operasional perusahaan dan pengembangan usaha di sektor migas, sembari mengelola dana participating interest dari Blok Eastal-attaka.
Lalu Perda 7/2020 untuk modal senilai Rp 29,6 miliar ke PBT yang ditujukan untuk pembangunan pabrik penggilingan padi atau Rice Miling Unit (RMU). Namun karena defisit anggaran pemberian modal disalurkan bertahap. Hanya sebesar Rp 12,5 miliar yang dikucurkan pada 2021 dan sisanya menyusul di tahun anggaran selanjutnya.
Sementara dalam perkara rausahnya, AGM bersama bersama Direktur PBT Heriyanto, Kabag Keuangan PBT Karim Abidin dan Direktur Utama PBTE Baharun Genda, menggunakan anggaran tersebut bukan untuk tujuannya melainkan ada yang digunakan untuk kepentingan pribadi seperti pembelian baliho untuk kegiatan partai, berkurban, hingga penyewaan helikopter dan jet pribadi.
Sementara di PBTE, terdakwa AGM diketahui menerima insentif selaku kuasa pemilik modal ex officio Bupati PPU tanpa dasar aturan jelas.
Meski di persidangan terdakwa mengaku tak tahu soal penggunaan modal untuk itu, namun Jaksa menganggap sanggahan tersebut perlu dikesampingkan lantaran fakta yang terungkap dari pemeriksaan saksi dan bukti jelas menegaskan ada penggunaan uang yang bersumber dari modal di dua perusahaan umum daerah itu dinikmati terdakwa.
Diketahui, sebelum kasus ini, AGM sempat terjerat operasi tangkap tangan KPK pada 12 Januari 2022 lalu. Dari perkara itu dia sudah diadili pada 26 September 2022 dengan pidana penjara selama 5 tahun 6 bulan. (tim redaksi)