Sabtu, 23 November 2024

Update Terkini

Duduk Perkara Kasus RJ Lino, hingga Divonis 4 Tahun Penjara, Hakim sampai Sebut KPK tak Teliti

Kamis, 16 Desember 2021 4:27

Mantan Direktur Utama Pelindo II, RJ Lino resmi dijatuhi vonis 4 tahun penjara terkait kasus korupsi Pelindo, Hakim sebut KPK tak teliti saat sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (14/12/2021). (YouTUbe Liputan6/Fachrur Rozie)

VONIS.ID - Berikut duduk perkara kasus korupsi Pelindo, yang membuat RJ Lino divonis 4 tahun penjara, hingga Hakim sampai berani sebut KPK tak teliti.

Babak baru kasus korupsi Pelindo yang menyeret Richard Joost Lino alias RJ Lino, telah diputuskan hakim

Mantan Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II atau Pelindo II, RJ Lino, resmi dijatuhi vonis 4 tahun penjara oleh Hakim.

Vonis terhadap RJ Lino yang terseret kasus korupsi pengadaan container crane di Pelindo II itu dibacakan Hakim anggota Teguh Santoso di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (14/12/2021).

Dalam putusan tersebut, RJ Lino terbukti melakukan korupsi yang menyebabkan kerugian negara, hingga harus dijatuhi vonis 4 tahun penjara.

Kendati demikian, vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum KPK agar RJ Lino dihukum 6 tahun penjara.

"Mengadili, menyatakan terdakwa Richard Joost Lino alias RJ Lino terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan pertama.

Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 4 tahun ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan," ungkap Teguh Santoso.

Dua Hakim dalam sidang tersebut, Teguh Santoso dan Agus Salim menyatakan perbuatan RJ Lino bersama-sama dengan Ferialdy Norlan yang menjabat sebagai Direktur Operasi dan Teknik PT Pelindo II dan Weng Yaogen selaku Chairman Wuxi Hua Dong Heavy Machinery Science and Technology Group Co. Ltd. (HDHM) Cina mengakibatkan kerugian negara seluruhnya senilai US$1.997.740,23 atau Rp 28,82 miliar

Duduk perkara kasus

Awal mula kasus korupsi Pelindo ini terjadi ketika Pelindo II membutuhkan container crane.

Beberapa kali pelelangan gagal, alhasil pada bulan April 2009 PT Pelindo II melakukan kembali pengadaan container crane.

Justru spesifikasinya diubah dari crane bekas menjadi New Single Lift QCC atau QCC Single Lift baru kapasitas 40 ton melalui mekanisme pelelangan untuk Pelabuhan Palembang, Pelabuhan Panjang, dan Pelabuhan Pontianak.

Namun setelah pelelangan, tidak ada peserta yang memenuhi persyaratan sehingga pelelangan kembali gagal, kemudian Pelindo II melakukan pelelangan ulang dan juga penunjukan langsung kepada PT Barata Indonesia.

RJ Lino yang memiliki kewenangan, kemudian memerintahkan Ferialdy Noerlan selaku Direktur Operasi dan Teknik PT Pelindo II agar mendampingi perwakilan Dong Heavy Machinery Science and Technology Group Co. Ltd. (HDHM) yang merupakan perusahaan pembuat crane untuk melakukan survei.

Kontrak ditandatangani pada tanggal 30 Maret 2010 dengan nilai US$17.165.386 selama 11 bulan garansi 1 tahun dan untuk pemeliharaan selama 5 tahun dengan nilai US$1.611.386.

Walaupun pengadaan dan pemeliharaannya tidak mengikuti prosedur, Pelindo II tetap membayar HDHM sebesar 15.165.150 dolar AS untuk pengadaan dan pemeliharaan sebesar 1.142.842,61 dolar AS yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar 1.997.740,23 dolar AS.

Diketahui RJ Lino melakukan sejumlah intervensi, antara lain:

Pertama, memerintahkan dan menyetujui dua kali perubahan Surat Keputusan (SK) Direksi Nomor HK.56/5/10/PI.II-09 tertanggal 9 September 2009 tentang Ketentuan Pokok dan Tata Cara Pengadaaan Barang dan Jasa di Lingungan Pelindo II.

Kedua, RJ Lino menginstruksikan Kepala Biro Pengadaan untuk 'tidak memersulit proses evaluasi administrasi dan teknis' terhadap penawaran HDHM meskipun sebetulnya HDHM tidak memenuhi persyaratan administrasi sebagaimana diatur dalam Rencana Kerja dan Syarat-Syarat (RKS) Administrasi.

Ketiga, secara sepihak RJ Lino memerintahkan Go for Twinlift dan 'selesaikan prsoes penunjukan HDHM' atas penawaran harga HDHM dengan spesifikasi QCC twinlift 50 ton dan laporan saksi Ferialdy Noerlan selaku Direktur Operasi dan Teknik yang menyatakan pemilihan langsung telah selesai.

Keempat, RJ Lino disebut memerintahkan Ferialdy Noerlan untuk melakukan penadnatangan kontrak oleh pihak HDHM (Weng Yaogen) diduga dilakukan pada tanggal 30 Maret 2010 meski pada dokumen kontrak tertanggal 30 April 2010.

Hakim sebut KPK tidak teliti

Dalam sidang tersebut, Ketua Majelis Hakim, Rosmina menyatakan pendapat berbeda alias dissenting opinion terhadap putusan

Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta ini justru mengaku tidak menemukan fakta hukum RJ Lino memperoleh keuntungan pribadi dari pembelian container crane yang dimaksud.

Menurut Rosmina, ia juga tidak menemukan pembelian itu menguntungkan orang lain.

Lantas Rosmina membuka hitung-hitungan kerugian negara.

Perhitungan kerugian negara dalam perkara tersebut dilakukan dua lembaga, yaitu BPK RI dan Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK.

Berdasarkan hasil perhitungan pembayaran riil yang dilakukan Pelindo II kepada HDHM Cina, kata Rosmina, sebesar 15.165.150 dolar AS di Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) KPK dan BPK.

Hal tersebut terjadi karena kepada PT HDHM dikenai denda keterlambatan pengiriman barang.

Namun, Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK menyebutkan jumlah bersih yang diterima HDHM dari Pelindo II atas pelaksanaan pengadaan 3 unit pengadaan QCC adalah 15.554.000 dolar AS.

Rosmina menilai Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK tidak teliti dalam menghitung jumlah kerugian negara.

Rosmina mengatakan, BPK menghitung kerugian negara dengan cara menghitung selisih nilai pembayaran pembangunan dan pengiriman serta pemeliharan 3 unit QCC dengan nilai realiasi pengeluaran HDHM.

Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK memilih untuk (A) menghitung jumlah bersih yang diterima HDHM dari pembayaran Pelindo II, (B) menghitung jumlah pengadaan 3 QCC yaitu nilai HPP di manufaktur di Cina ditambah dengan margin keuntungan wajar dan biaya lain-lain, termasuk biaya pengiriman dan biaya lainnya sampai siap dipakai oleh Pelindo II sehingga jumlah kerugian negara adalah poin (A) dikurangi poin (B).

Rosmina berpendapat, di antara metode perhitungan kerugian negara antara yang dilakukan BPK dan Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK terjadi perbedaan, yaitu BPK tidak lagi memperhitungkan keuntungan penyedia barang sedangkan Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK memperhitungkan keuntungan meski kerugian negara disebut timbul akibat adanya penyimpangan-penyimpangan.

Rosmina menyebut tujuan pengadaan barang adalah keuntungan baik penyedia maupun pengguna. Jika pengadaan menyimpang, keuntungan tidak dapat diterima.

"Namun, dalam perhitungan Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK terdapat perbuatan-perbuatan menyimpang dari peraturan yang berlaku namun tetap kepada penyedia barang diberi hak untuk mendapat keuntungan," ucap Rosmina

Perhitungan keuntungan yang dilakukan Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK, menurut Rosmina, telah melakukan pelanggaran asas perhitungan kerugian negara, yaitu keuntungan hanya dapat diberikan jika ada pelanggaran

Oleh karena itu, katanya lagi, Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK dilakukan secara tidak teliti dan melanggar asas perhitungan kerugian negara, sehingga perhtingan keuntungan bisa dikesampingkan.

Kedua, Rosmina menyebut penggunaan QCC twin lift membawa keuntungan baik bagi pengguna jasa pelabuhan maupun pada perusahaan dalam hal ini Pelindo II.

(*)

Baca berita kami lainnya di
Tag berita:
Beritakriminal