VONIS.ID - Peristiwa kelam pernah terjadi pada bangsa Indonesia. Salah satunya adalah peristiwa G30S PKI.
Sebuah sumur tua di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur menjadi saksi bisu peristiwa keji yang terjadi pada 1965 lalu.
Dari peristiwa itu, ada 7 orang yang menjadi korban keganasan PKI.
Tujuh Pahlawan Revolusi adalah korban Gerakan 30 September 1965 atau yang biasa dikenal sebagai G30S/PKI. Mereka diculik, disiksa, hingga dibunuh pada 1 Oktober 1965.
Jasad mereka ditemukan di sebuah sumur tua, di daerah Lubang Buaya dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Para sosok yang gugur itu dinyatakan sebagai Pahlawan Revolusi dan memperoleh pangkat anumerta, berdasarkan surat keputusan Presiden RI No III/Koti/Tahun 1965 tanggal 5 Oktober 1965. Lalu, sejak Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 berlaku, gelar Pahlawan Revolusi juga termasuk Pahlawan Nasional.
Siapa Saja 7 Pahlawan Revolusi?
1. Jenderal Anumerta Ahmad Yani
Ahmad Yani lahir tanggal 19 Juni 1922 di Jenar, Purworejo. Pada masa kolonialisme Jepang, dia ikut pendidikan Heiho di Magelang dan pendidikan tentara Pembela Tanah Air atau PETA di Bogor.
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, dia diculik dan dibunuh. Jasad Ahmad Yani ditemukan di Lubang Buaya dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
2. Letjen Anumerta Raden Suprapto
Raden Suprapto lahir 20 Juni 1920 di Purwokerto. Semasa muda, dia ikut pendidikan militer di Akademi Militer Kerajaan di Bandung. Namun, pendidikannya itu putus karena Jepang mendarat di Indonesia.
Pada masa penjajahan Jepang, Suprapto ikut kursus di Pusat Latihan Pemuda dan berkarier di Kantor Pendidikan Masyarakat.
Suprapto menentang tegas rencana PKI mendirikan Angkatan Kelima. Dia juga diculik dan dibunuh pada 1 Oktober 1965 dini hari.
3. Letjen Anumerta M.T. Haryono
M.T. Haryono lahir di Surabaya pada 20 Januari 1924. Dia pernah ikut sekolah kedokteran Ika Dai Gaku saat masa pendudukan Jepang dan masuk TKR dengan pangkat mayor setelah Indonesia merdeka.
Pahlawan Revolusi yang pandai berbahasa Belanda, Inggris, dan Jerman ini diculik dan dibunuh pada 1 Oktober 1965 dini hari.
4. Letjen Anumerta Siswondo Parman
Letjen S. Parman lahir di Wonosobo, 4 Agustus 1918. Dia sempat bekerja pada jawatan Kenpetai saat erat kolonialisme Jepang.
S. Parman masuk TKR setelah Indonesia merdeka dan memegang jabatan Kepala Staf Markas Besar Polisi Tentara di Yogyakarta. Dia pun pernah menjadi Sekretaris Delegasi Militer Indonesia pada Konferensi Meja Bundar tahun 1949.
5. Mayjen Anumerta Donald Ignatius Panjaitan
D.I. Panjaitan lahir tanggal 9 Juni 1925 di Balige, Tapanuli. Dia menjalani pendidikan militer Gyugun dan ditempatkan di Pekanbaru sampai proklamasi.
D.I. Panjaitan turut serta membentuk TKR dan ditetapkan sebagai Komandan Batalyon. Pada Agresi Militer Belanda II, dia bertindak sebagai pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintahan Darurat RI (PDRI).
6. Mayjen Anumerta Sutoyo Siswomiharjo
Sutoyo Siswomiharjo lahir di Kebumen, Jawa Tengah, pada 28 Agustus 1922. Dia belajar di Balai Pendidikan Pegawai Tinggi di Jakarta, lalu jadi pegawai negeri di Kantor Kabupaten Purworejo.
Setelah kemerdekaan Indonesia, dia bergabung dengan TKR di bagian kepolisian, kemudian menjadi anggota Corps Polisi Militer (CPM). Disebabkan ketidaksetujuannya dengan pembentukan Angkatan Kelima PKI, Sutoyo diculik dan dibunuh pada 1 Oktober 1965.
7. Kapten Anumerta Pierre Andreas Tendean
Pierre Tendean adalah ajudan Jenderal A.H. Nasution. Dia lahir pada 21 Februari 1939 di Jakarta.
Pierre Tendean lulus dari Akademi Militer Jurusan Teknik pada 1962. Setelah dari sana, dia menjadi Komandan Peleton Batalyon Zeni Tempur 2 Komando Daerah Militer II/Bukit Barisan di Medan.
Pada waktu PKI mengepung rumah A.H. Nasution, dia ikut ditangkap dan dibunuh. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Selain tujuh Pahlawan Revolusi di atas, ada beberapa korban lain yang menjadi saksi peristiwa G30S/PKI. Beberapa di antaranya adalah AIP II Anumerta Karel Satsuit Tubun, Ade Irma Suryani (putri A.H. Nasution), Kolonel Anumerta Sugiyono, dan Kolonel Katamso Darmokusumo.
(redaksi)