VONIS.ID, SAMARINDA – Penyalahgunaan visa oleh turis mancanegara kembali diungkap petugas jajaran Kantor Imigrasi Klas I Samarinda, Kalimantan Timur belum lama ini.
Dalam pengungkapan itu, petugas mendapati satu warga negara asing (WNA) asal Suriah bernama JA yang menyalahgunakan visa wisata untuk kegiatan jual beli alat berkas bekas.
Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Samarinda, Washington Saut Dompak menjelaskan, JA ditangkap pada 3 Juli 2024 di Samarinda setelah sebelumnya berpindah-pindah dari Kalimantan Timur hingga ke Kalimantan Selatan.
JA menggunakan visa wisata untuk tinggal di Indonesia, tetapi dirinya justru terlibat dalam kegiatan bisnis yang tidak sesuai dengan izin kunjungan ke Indonesia.
“JA ini terbukti melakukan jual-beli alat berat bekas yang kemudian dipasarkan kembali ke luar negeri, seperti Dubai, untuk didaur ulang. Aktivitas ini menghasilkan keuntungan finansial pribadi yang cukup besar bagi pelaku,” ujar Washington, dikutip Selasa (1/10/2024).
Lanjut dipaparkannya, kalau JA pertama kali berkunjung ke Samarinda sejak 30 April 2024 lalu. Sejak waktu yang disebutkan, JA diam-diam bergerak melakukan bisnis jual-beli alat berat bekas. Meski kegiatan JA bukan bisnis ilegal, namun perizinan kunjungannya lah yang membuat JA harus meringkuk dibalik kurungan.
Sejatinya JA bisa terus bernafas lega jika mengantongi izin visa Penanam Modal Asing (PMA) yang sesuai dengan kegiatannya sebagai pengusaha.
Visa PMA, dijelaskan Washington, memungkinkan WNA untuk tinggal di Indonesia dengan jangka waktu lebih lama dan lebih tepat untuk kegiatan bisnis.
Namun, JA memilih menggunakan visa wisata yang lebih cepat diproses dan memberikan keleluasaan untuk berpindah antar daerah tanpa harus mengurus izin khusus.
“Kami menemukan indikasi bahwa penggunaan visa wisata oleh JA adalah cara untuk mempercepat proses pengambilan visa, atau mungkin agar tidak terdeteksi oleh petugas imigrasi setempat. Padahal, pemerintah Indonesia sudah memberikan kelonggaran bagi WNA yang menggunakan visa PMA, termasuk tidak perlu membayar pajak,” jelas Washington.
Kendati demikian, biaya pengurusan visa PMA yang lebih tinggi dibandingkan visa wisata diduga menjadi alasan JA memilih jalan pintas ini.
Di perusahaan tempatnya bekerja, sejumlah WNA Suriah lainnya diketahui menggunakan visa PMA dengan izin tinggal selama dua tahun. Washington mencurigai bahwa JA disuruh oleh salah satu rekan kerjanya untuk menggunakan visa wisata sebagai jalan pintas.
Akibat perbuatannya, JA kini telah ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, Pasal 122 (a), dengan ancaman pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda Rp 500 juta.
Saat ini, Kantor Imigrasi juga tengah memeriksa lebih lanjut peran pihak lain yang terlibat dalam kasus ini, termasuk perusahaan yang menjadi penjamin visa JA, berinisial PT BCI.
“Kami telah mengusulkan agar perusahaan tersebut dibekukan dari pengajuan visa ke depannya. Kalau tidak, mereka tetap bisa membuka visa untuk WNA lain,” tutur Washington.
Selain itu, pihak imigrasi telah mengumpulkan sejumlah barang bukti, seperti paspor, dokumen transaksi, tangkapan layar pesan instan, serta kwitansi penjualan.
JA kini dalam proses hukum, dan imigrasi berencana untuk menjerat pihak yang menyuruhnya. Jika tersangka tidak kooperatif, Washington menegaskan bahwa deportasi akan menjadi langkah berikutnya, dengan pengawasan ketat di jalur-jalur masuk Indonesia. (tim redaksi)