Senin, 25 November 2024

Akar Sejarah Konflik di Keraton Solo, Berawal dari Perebutan Kekuasaan Antar Anak Selir

Minggu, 25 Desember 2022 8:33

Tampak depan Keraton Solo. Foto: Surakarta.go.id

VONIS.ID - Konflik internal antara keluarga di Keraton Solo kembali mencuat setelah kejadian di Jumat (23/12/2022) malam.

Ternyata, konflik telah berlangsung sejak 18 tahun di lingkungan Keraton Solo, dan hingga saat ini belum menemui jalan damai.

Berikut ini akar sejarah konflik trah kerajaan di Keraton Solo, seperti dilansir dari Kompas.TV:

Perebutan tahta Keraton Solo yang menimbulkan konflik internal terjadi setelah wafatnya Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat bergelar Pakubuwono XII atau PB XII pada 12 Juni 2004.

Pakubuwono XII tidak memiliki permaisuri, melainkan sejumlah selir.

Ia juga tak menunjuk satu pun anaknya sebagai pewaris tahta Kasunanan Solo.

Konflik pun tak terhindarkan di antara anak-anaknya yang berbeda ibu itu.

Sejarah konflik Keraton Solo diawali oleh pendeklarasian dua pangeran sebagai raja pada tahun yang sama dengan meninggalnya PB XII.

Putra tertua dari selir ketiga PB XII, Sinuhun Hangabehi, mendeklarasikan diri sebagai raja pada 31 Agustus 2004.

Ia bertahta di dalam keraton dengan dukungan utama dari saudara satu ibunya, termasuk Gusti Moeng.

Sedangkan putra dari selir lain, Sinuhun Tedjowulan, juga mendeklarasikan diri sebagai raja pada 9 November 2004.

Ia bertahta di luar keraton dengan dukungan dari saudara-saudaranya yang menilai dirinya lebih mampu menjadi pemimpin Kasunanan Solo.

Konflik Keraton Solo sempat teredam pada tahun 2012 ketika Hangabehi dan Tedjowulan sepakat berdamai dan menandatangani akta rekonsiliasi.

Saat itu, Wali Kota Solo Joko Widodo atau Jokowi dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Mooryati Sudibyo, berupaya mendamaikan dua kubu tersebut di Jakarta.

Dua kubu Keraton Solo itu pun menyepakati bahwa Hangabehi sebagai putra tertua dari PB XII tetap menjadi raja (PB XIII), sedangkan Tedjowulan menjadi Mahapatih dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Panembahan Agung.

Akan tetapi, Gusti Moeng dan saudara-saudaranya tidak menyepakati rekonsiliasi tersebut.

Mereka pun mendirikan Lembaga Dewan Adat (LDA) yang menyewa pendekar untuk menyandera PB XIII dan Mahapatih. 

Pihak LDA juga melakukan kudeta terhadap PB XIII yang dijabat oleh Hangabehi karena menilai raja baru itu melakukan sejumlah pelanggaran.

Selain itu, LDA bahkan melarang PB XIII dan pendukungnya memasuki area Keraton Solo.

Sejumlah pintu masuk raja menuju gedung utama pun dikunci dan ditutup menggunakan pagar pembatas.

Akibat peristiwa itu, PB XIII Hangabehi yang telah bersatu dengan Tedjowulan tak bisa bertahta di Sasana Sewaka Keraton Solo.

Pada bulan April 2017, konflik Keraton Solo kembali memanas.

Putri Raja Keraton Solo, GKR Timoer Rumbai Kusuma Dewayani, terkurung di dalam keputren atau kediaman putri-putri raja bersama beberapa abdi dalem (pengabdi kerajaan).

Pada tahun yang sama, Presiden Jokowi mengutus anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) Jenderal TNI (Purn) Subagyo Hadisiswoyo untuk melakukan upaya rekonsiliasi Keraton Solo, namun gagal.

Lalu, pada Februari 2021, kisruh Keraton Solo kembali memanas.

Setidaknya ada lima orang, termasuk anak keturunan PB XII, terkurung di istana.

Terbaru, empat orang dilarikan ke Rumah Sakit karena bentrok dua kubu Keraton Solo pada Jumat (23/12/2022) malam sekitar pukul 19.00 WIB.

Cucu PB XIII, Suryo Mulyo, mengatakan telah ditodong pistol oleh orang yang mengaku aparat keamanan.

Cucu lain, Yudhistira Rachmat Saputro, juga mengaku mengalami pemukulan di bagian punggungnya. 

Lalu, putri kedua PB XIII, Devi Lelyana Dewi, mengaku mengalami lebam di bagian tangan akibat dipukul menggunakan bambu saat mencoba menahan upaya penguncian Kamandungan atau akses pintu masuk Keraton Solo.

(redaksi)

Baca berita kami lainnya di
Tag berita:
Berita terkait
Beritakriminal