VONIS.ID - Pernyataan AKBP Arif Rachman Arifin, pada sidang pledoi kasus obstruction of justice pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J), Jumat (3/2/2023), menuai kritik dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Mantan anak buah Ferdy Sambo itu mengatakan ada budaya di institusi Polri yang membuat bawahan sulit untuk menolak perintah atasan.
Komisioner Kompolnas Poengky Indarti menilai, anggota Polri bukanlah robot yang selalu melaksanakan perintah tanpa melalui proses berpikir.
"Pun saat ini juga bukan zaman Orde Baru yang pada masa itu memang mewajibkan anggota patuh meski perintah pimpinan keliru," ujar Poengky saat dihubungi, Sabtu (4/2/2023), dilansir dari Kompas.com.
Menurut Poengky, pasca-reformasi, institusi Polri adalah institusi sipil, bukan institusi militer, sehingga aturan dan budaya Polri juga sudah berubah menjadi budaya Polri yang reformis dan humanis.
Ia berpandangan, masih wajar bila polisi berpangkat Bharada yang mengatakan soal adanya budaya yang membuat bawahan di Polri sulit menolak atasan.
Sebab, Bharada adalah pangkat terendah di Polri.
Namun, menurutnya, bila perwira menengah berpangkat AKBP masih berpikiran seperti robot atau setidaknya seperti pada masa Orde Baru yang tidak berani mengoreksi pimpinan yang keliru, maka orang-orang seperti itu justru merusak institusi Polri.
"Apalagi pangkat AKBP sebagai perwira menengah seharusnya punya keberanian dan bisa mengoreksi kebijakan atasan yang keliru," imbuhnya.
Lebih lanjut, ia mengingatkan setiap anggota Polri harus tunduk pada peradilan umum, kode etik profesi, dan disiplin.
Poengky mengimbau agar para anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya wajib berhati-hati agar tidak terkena sanksi pidana, sanksi etik, maupun sanksi disiplin.
"Aturan kode etik profesi Polri jelas menegaskan kewajiban bawahan salah satunya adalah menolak perintah atasan yang melanggar norma hukum, agama, dan kesusilaan," ucap dia.
(redaksi)