VONIS.ID - Setelah resmi disahkan DPR, revisi UU Kejaksaan langsung mendapat sorotan terkait tugas dan wewenang jaksa yang di antaranya boleh melakukan penyadapan, Pakar Hukum sebut ini persoalan sensitif.
Sebelumnya, DPR telah mengesahkan UU Kejaksaan dalam rapat paripurna yang berlangsung pada Selasa (7/12/2021).
Paling disorot dalam UU Kejaksaan tersebut adalah terkait kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyadapan.
Kewenangan penyadapan tersebut diatur dalam Pasal 30 C huruf K beleid hasil amandemen, yang menjelaskan bahwa jaksa memiliki melakukan penyadapan berdasarkan undang-undang khusus yang mengatur mengenai penyadapan.
"Tugas dan wewenang Jaksa diubah dalam undang-undang ini antara lain melakukan penyadapan berdasarkan undang-undang khusus yang mengatur mengenai penyadapan dan menyelenggarakan pusat pemantauan di bidang tindak pidana," bunyi pernyataan Kejaksaan.
Terkait hal tersebut, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad tak tinggal diam. Menurutnya kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyadapan berdasarkan UU Kejaksaan perlu dipagari dengan pedoman aturan pelaksanaan teknis.
Pasalnya ia menilai penyadapan sebagai persoalan yang sensitif.
"Persoalan penyadapan adalah yang sangat sensitif karena ada konflik antara kepentingan publik dan kepentingan privat," ucap Suparji Ahmad dalam webinar bertajuk 'Mengangkat Marwah Kejaksaan, Membangun Adhyaksa Modern', Rabu 15 Desember 2021.
Ia menilai tugas dan wewenang jaksa dalam melakukan penyadapan justru berpotensi terjadinya pelanggaran HAM.
Hal tersebut bisa terjadi manakala penyadapan yang dilakukan Kejaksaan Agung tanpa pedoman aturan yang jelas.
"Saya pernah membaca ada buku tentang penyadapan dan hak asasi manusia. Saya kira itu juga bisa menjadi referensi tentang bagaimana melaksanakan penyadapan," ungkapnya.
Menurut Suparji Ahmad, jaksa membawa kepentingan publik saat melakukan proses penegakan hukum.
Akan tetapi, kata dia, jaksa dapat masuk ke ranah-ranah pribadi dan piranti-piranti komunikasi individu dengan kewenangan penyadapan.
Penyalahgunaan kewenangan terkait hal ini yang dapat melanggar hak asasi manusia.
"Harus ada komitmen. Hasil penyadapan itu memang yang seharusnya memiliki relevansi pada konteks penegakan hukum, jangan sampai membawa persoalan-persoalan individu yang tidak ada kaitannya dengan perkara.
Misalnya, soal kehidupan rumah tangganya atau anaknya. Itu tidak memiliki korelasi dengan pembuktian perkara," tutur Suparji Ahmad.
Iapun menekankan pentingnya pedoman utama proses penyadapan yang dapat benar-benar menjamin tindakan itu dilakukan dalam rangka kepentingan penegakan hukum.
"Jaminan bahwa penyadapan tidak memiliki tendensi lain, selain untuk menegakkan hukum, dapat meminimalisir distorsi, penyimpangan, atau pelanggaran HAM," ujarnya.
(*)