VONIS.ID, SAMARINDA - Jajaran Direktorat Polairud Polda Kaltim kembali mengungkap kasus tindak pidana perdagangan kayu ilegal alias ilegal logging di perairan Sungai Mahakam, Kalimantan Timur (Kaltim) pada Kamis (3/3/2022) kemarin.
Pengungkapan kasus ilegal logging dilakukan Korps Bhayangkara di perairan Desa Sebulu, Dusun Serbaya, Kecamatan Sebulu, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar).
Tak cuma mengamankan ratusan kayu ilegal, polisi juga mengamankan lima kapal ketinting sebagai barang bukti.
Dirpolairud Polda Kaltim, Kombes Pol Tatar Nugroho menjelaskan, pengungkapan kasus ilegal logging itu bermula dari penyelidikan personel di lapangan yang mendapati lima kapal ketinting tengah menarik rangakain kayu logging.
Karena mencurigakan, polisi kemudian menghadang dan memeriksa lima orang di kapal ketinting tersebut.
Hasilnya, petugas mendapati 250 kayu batangan yang diklaim 28 di antaranya telah berizin, dan ratusan sisanya dipastikan ilegal.
"Tapi kami masih tetap selidiki apakah benar 28 kayu tersebut telah berizin atau tidak, sedangkan 223 lainnya kami pastikan ilegal," ucap Kombes Pol Tatar Nugroho, Jumat (4/3/2022).
Dari hasil pemeriksaan petugas, ratusan kayu ilegal itu terdiri dari banyak jenis kayu Meranti yang berusia lebih dari 20 tahun dan diperkirakan berasal dari hutan kawasan sekitar lokasi penangkapan.
Dari hasil ungkapan itu pula, Dirpolairud Polda Kaltim memperkirakan total kerugian negara mencapai Rp 3 miliar.
"Saat ini lima orang sudah kami amankan dan satu orang sebagai pembeli kami tetapkan sebagai tersangka, karena ini masih dalam proses penyidikan jadi bukan tidak mungkin kami bisa menetapkan tersangka yang lainnya," ungkap polisi berpangkat melati tiga ini.
Karena perbuatannya, pelaku yang telah ditetapkan tersangka oleh Polairud Polda Kaltim itu dijerat dengan Pasal 83 ayat (1) huruf b Jo pasal 12 hurup e UU RI No 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagaimana telah diubah pada UU RI No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
"Untuk ancaman hukumannya pidana penjara maksimal 5 tahun atau denda maksimal Rp 2,5 milyar," tandasnya.
(tim redaksi)