Rabu, 8 Januari 2025

Refleksi Kebebasan Akademik 2024 dan Outlook 2025

Selasa, 31 Desember 2024 16:32

Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademi. (IST)

VONIS.ID -  Memasuki hari pergantian tahun, para akademisi yang tergabung dalam Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademi (KIKA) merilis sejumlah catatan penting. Tentunya terkait refleksi kebebasan para akademisi di seluruh nusantara.

Pada rilis tertulis yang diterima media ini, KIKA menyebut kalau pernyataan dari Mendiktisaintek Satryo Soemantri Brodjonegoro patut diapresiasi. 

“Jadi semua tergantung dari pimpinan perguruan tingginya. Kami berikan pada mereka keleluasaan dan kebebasan secara akademik. Tapi saya minta pada mereka, Bapak-Ibu Rektor tolong jaga dengan baik, karena kebebasan itu harus di barengi dengan akuntabilitas tanggung jawab pada publik”
Satryo Soemantri Brodjonegoro, Mendiktisaintek, 28 Oktober 2024.

Pernyataan Mendiktisaintek dinilai tepat. Patut diapresiasi. Sekalipun demikian realitasnya perlu dilihat bagaimana situasi yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2024.

Sebab menjelang Pilpres 2024, terjadi peristiwa sangat memalukan. Rezim Jokowi meminjam ‘mulut rektor’ untuk mengapresiasi dirinya dengan menyatakan soal keberhasilan program dan kebijakan rezim. Setidaknya ada 4 elit kampus yang membuat video apresiasi tersebut, yakni

1. Rektor Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Ahmad Sodik;

2. Rektor Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Jebul Suroso; 

3. Wakil Rektor II Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus), Hardi Winoto; 

4. Rektor Universitas Diponegoro (Undip), Yos Johan Utama 

Peristiwa ini merefleksi ancaman betapa rezim otoriter memaksakan kehendaknya untuk melegitimasi diri dan kebijakannya dengan pelumas intelektualisme.
Kendali kekuasaan atas kampus sudah sedemikian primitif terjadi di Indonesia. Belum lagi, bagaimana dengan situasi terpilihnya Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden untuk periode 5 tahun kedepan. 

Selubung militerisme akan kuat membayangi politik kekuasaan, dan secara langsung maupun tidak bertahap akan mempengaruhi dunia pendidikan tinggi. Ini artinya, selama itu pula akan ada banyak tantangan yang sangat berat dalam mengimplementasikan kebijakan pendidikan tinggi yang berkualitas dan berkeadilan, menciptakan ekosistem keilmuan. Masalah mendasar ini tidak akan pernah selesai bila secara paradigmatik, pola relasi pemerintah dan perguruan tinggi maupun komunitas ilmuwan tidak pernah dihormati kedudukannya.

KIKA meyakini, bahwa sumber pembentengan kebebasan akademik adalah penghargaan yang tinggi atas dunia ilmuwan, dunia pendidikan tinggi dan risetnya. Bilamana politik anti sains kuat melandasi kebijakan negara, maka sesungguhnya, sepanjang itu pula kerusakan sains dan dampak negatifnya akan besar terjadi dilapangan, baik mengancam lingkungan, pula peradaban kemanusiaan. Hal mendasar lainnya adalah sejauh mana kebijakan pemerintahan baru berkaitan dengan restrukturisasi (memecah) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) di bawah Kabinet Merah Putih menjadi tiga kementerian baru, yakni: Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemen Dikdasmen), Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti-Saintek), serta Kementerian Kebudayaan. Kebijakan ini sudah hampir pasti akan disusul dengan kebijakan-kebijakan lain di sektor tata Kelola Pendidikan tinggi di Indonesia. Pada lain pihak, pemerintah juga harus berhadapan dengan mafia pengurusan-perolehan jabatan akademik guru besar atau jabatan fungsional lainnya, perilaku koruptif pengelola perguruan tinggi yang berkelindan dengan keberpihakan cenderung buta pula menundukkan diri terhadap penguasa.

Sementara itu, khususnya untuk perguruan tinggi negeri, pemerintah (cq. Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi atau Kemendiktisaintek), secara de jure, masih memiliki dan menguasai 35% hak suara dalam pemilihan dan penentuan pimpinan universitas atau Rektor, serta sangat digdaya dalam penempatan birokrat, anggota partai politik dll, sebagai anggota wali amanat. Sebaliknya kontrol dan kendali atas perguruan tinggi swasta dilakukan dengan berbagai cara lain, antara lain melalui regulasi perihal akreditasi. Untuk keduanya, PTN dan PTS selanjutnya dibebankan target-target atau capaian-capaian yang tidak kerap kali dalam praktiknya justru kontraproduktif. 

Misalnya terkait dengan penelitian dan pengabdian masyarakat yang dikaitkan dengan publikasi di jurnal terindeks scopus. Singkat kata, pembirokratisasian pengelolaan perguruan tinggi terus menguat dan yang dikorbankan adalah ikhtiar membangun suasana akademis di mana civitas academica dapat menikmati ruang kebebasan untuk berkarya (pengajaran, pendidikan, pengabdian masyarakat) dan turut berpartisipasi secara aktif dalam mengembangkan kebijakan pembangunan dan turut mengawasinya. 

Untuk itu kebebasan akademis menjadi prasyarat dan justru kebebasan itulah yang terancam ketika civitas academica (dosen-mahasiswa) dikekang dengan segala macam tuntutan. Secara konkrit, nalar kritis civitas academica ditumpulkan ketika kemerdekaan yang seharusnya diberikan padanya justru dikendalikan, dikekang atau
diam-diam diberangus.

KIKA sepanjang 2024 mencermati bahwa ancaman terhadap kebebasan akademik terkait berkelindan dengan persoalan-persoalan lain, mulai dari perdebatan perihal kenaikan pembayaran UKT, joki jurnal ilmiah hingga penganugerahan gelar guru besar kepada tokoh politik, aparat penegak hukum dan pejabat lainnya sampai dengan ketidakadilan yang muncul akibat kebijakan pemerintah maupun pembangunan. 

Sepanjang 2024, KIKA mendampingi berbagai kasus pelanggaran kebebasan akademik. Terdata 27 jenis kasus yang didampingi dan menjadi perhatian oleh KIKA. Berdasarkan kasus tersebut, Dosen, mahasiswa, kelompok masyarakat sipil menjadi korban pelanggaran kebebasan akademik.

Dari jenis kasus yang ditangani, KIKA mencatat ada 5 bentuk pelanggaran kebebasan akademik.

I) Serangan Kepada Gerakan Mahasiswa (BEM, Persma, dsb), yaitu kasus: (1). 

Represi fisik dan akademik terhadap mahasiswa UIN Alauddin Makassar; (2). 

Pembredelan diskusi serta nobar film “Pesta Oligarki” disertai kriminalisasi terhadap mahasiswa UIN Ar-Ranniry Banda Aceh; (3). 

Represi terhadap Persma Universitas Merdeka Malang; (4). 

Kriminalisasi Khariq dan represi terhadap mahasiswa yang melakukan demonstrasi menentang kenaikan UKT UNRI; (5). 

Kekerasan aparat penegak hukum pada aksi massa darurat demokrasi: pada aksi pertama terdapat 39 korban yang mendapat serangan, bahkan dilakukan penahanan oleh aparat kepolisian, di Kota Bandung ada 2 korban luka parah, hingga berpotensi kehilangan bola mata akibat lemparan polisi. Sementara itu, di Semarang 11 peserta aksi massa ditangkap dan hak mereka untuk mendapat pendampingan hukum dikesampingkan. 

Hal serupa terjadi di berbagai kota lainnya; dan (6). Pembekuan BEM FISIP Unair akibat kritik satire terhadap Presiden Prabowo dan Gibran. Terkait poin ini, KIKA mengapresiasi Satryo Soemantri Brodjonegoro selaku Mendiktisaintek yang lugas menegaskan tidak perlunya pembungkaman dan mendesak pembatalan dengan berkomunikasi langsung dengan institusi Universitas Airlangga (Kompas.com/IDN TImes, 28/10/2024); (7). 

Problem biaya pendidikan tinggi dan upaya pendidikan gratis dan Uji Materiil Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di lingkungan Kemendikbud Ristek tahun 2024 bersama Aliansi APATIS. 

Terakhir terjadi lagi kekerasan terhadap mahasiswa dalam peristiwa penolakan PPN 12 persen.
II) Problem insan akademik dan kaitan dengan advokasi kebijakan publik ditandai dengan: (1). Upaya melawan pemanipulasian sejarah, sebagaimana adanya pemberian gelar kehormatan Prabowo dan tantangan terhadap masyarakat sipil; (2). pembentengan kebebasan ekspresi dengan advokasi kasus kriminalisasi terhadap masyarakat sipil, seperti kasus hukum yang dihadapi Septi; (3). pemberangusan kritik akademisi selama Pemilu 2024 dan Pilkada 2024; (4).

Pemberhentian Prof. Budi Santoso (BUS) sebagai Dekan FK Unair setelah mengecam kebijakan membolehkan masuknya Dokter Asing sebagai dampak
Omnibus Law bidang Kesehatan.

III) Problem insan akademik dan kaitan dengan advokasi problem sumberdaya alam, khususnya serangan balik atas upaya keberpihakan akademisi, baik serangan terhadap mereka yang mendampingi atau bersuara soal: (1). 

Kasus Proyek Strategis Nasional, seperti advokasi Rempang dan Wadas; (2). 

Pelarangan peneliti asing isu orangutan melawan KLHK (Erick Meijaard, dkk); (3). 

Advokasi kasus agraria Pakel, Banyuwangi; (4). 

Persiapan untuk Festival Korban PSN (Food Estate Merauke, dsb)

IV) Masalah mendasar berkaitan dengan integritas akademik dan polemik guru besar ditandai dengan: 

(1). Polemik ‘program instan’ politisasi seperti ‘Doktor kilat’ Bahlil Lahadalia; 

(2). Polemik pejabat publik dan tokoh dari penegak hukum yang bermasalah dalam pengangkatan Guru Besar Kehormatan dan Doktor Kehormatan dari kalangan jaksa, hakim, maupun kepolisian, atau bahkan politisi; 

(3). Polemik lanjutan BRIN; 

(4). Skandal GB abal-abal yang belum tuntas diusut oleh Inspektorat Jenderal Kemendikbud-Ristek, maupun belum ditindaklanjuti oleh Kemendiktisaintek; 

(5). Persoalan integritas akademik GB lainnya menyangkut mafia perjurnalan dan bahkan kejahatan publikasi antar negara (transnational organised crimes on publication), yang bentuknya dari produksi jurnal predatoris hingga mafia pencatutan penulis asing untuk tujuan metrics.

V) Maraknya kasus kekerasan seksual di kampus yang tidak mendapati pertanggungjawaban secara baik, adil dan lebih bertanggung jawab. Sejumlah kasus tercatat, pelecehan maupun kekerasan seksual yang terjadi di Universitas Pancasila (BBC 27/02/2024), di Unhas (Kompas 01/12/2024), di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan korban 17 orang, maupun pengaduan ke KIKA langsung, masih terdapat sejumlah kasus. KIKA menangani,
salah satunya, seorang pelaku kekerasan seksual yang mengorbankan, setidaknya 26 korban, baik mahasiswi maupun dosen di sebuah kampus di Yogyakarta (untuk keperluan perlindungan korban, tak bisa disebutkan kampusnya). Peristiwa ini berulang, sebagaimana tahun sebelumnya, berdasarkan catatan Kemendikbud per Juli 2023, terjadi 65 kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi (Detik.com 14/10/2024).

Ancaman diam-diam atau penggunaan upaya hukum untuk membungkam suara kritis dunia kampus maupun masyarakat sipil ternyata sebenarnya sudah lama dan masih juga terus berlanjut. Ini terjadi dengan dukungan ataupun dalam wujud pembiaran atas pertanggungjawaban kasus hukum, baik dari pemerintah maupun dari perguruan tinggi sendiri. 

Apa yang terjadi kasus-kasus kebebasan akademik sepanjang tahun 2024, sebenarnya hanya mengulang peristiwa-peristiwa serangan yang terus menerus dari tahun ke tahun terjadi sejak 2015. 

Maka dari itu, KIKA kembali mengingatkan Prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik, khususnya prinsip 2, 3, dan, 4 terkait kebebasan penuh mengembangkan tri dharma perguruan tinggi dengan kaidah keilmuan, mendiskusikan mata kuliah dan pertimbangkan kompetensi keilmuan dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dan larangan terhadap pendisiplinan bagi insan akademisi yang berintegritas.

Outlook kebebasan akademik pada 2025 dan di tahun mendatang, KIKA berharap banyak ada dan dijaganya transparansi dan akuntabilitas dalam penyelesaian persoalan integritas akademik akibat dari beroperasinya ‘mafia kepangkatan’ Guru Besar. Berbasis tren, pola, mafia dan jaringannya, baik operasi di kampus, internal kementerian, relasi mafia perjurnalan dan modus modus yang ditemukan KIKA selama ini, memperkirakan jumlah guru besar yang seharusnya bisa dibatalkan melampaui lebih dari 100 guru besar (untuk masa pengangkatan 2022 hingga 2023, belum termasuk 2024). Kasus mudah, namun nyali kementerian kecil sekali.

Berdasarkan sejumlah situasi demikian, sejumlah hal menjadi desakan KIKA.

(1) KIKA mendesak Mendiktisaintek bertanggungjawab atas kekacauan masalah kegurubesaran dan mafia jabatan fungsional, dengan dorongan untuk tak ragu dan tegas memberikan sanksi pemberhentian guru besar. Ini termasuk pejabat publik yang telah menyiasati bersama elit kampus untuk menjadi guru besar, terutama dengan syarat manipulatifnya.

(2) KIKA mendesak Mendiktisaintek untuk terbuka menegaskan mindset atau orientasi pendidikan tinggi masa depan seperti apa, terutama bagaimana
dengan upaya mengaitkannya dengan strategi mengarusutamakan jaminan kebebasan akademik dalam kebijakan-kebijakannya sebagai prasyarat untuk
mengembangkan iklim keilmuan yang lebih bertanggungjawab, kuat dan melahirkan ekosistem pengetahuan yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan
pernyataan lisan, Satryo Soemantri Brodjonegoro, yang dikutip bagian awal outlook ini.

(3) KIKA perlu mengingatkan kepada elit pengelola kampus, Rektorat dan jajarannya, untuk tak merendahkan muruah integritas akademik, dengan tidak menjadikan dirinya sebagai pelumas nafsu kekuasaan, transaksional memperdagangkan gelar akademik, serta lugas membentengi kebebasan akademik serta berani mengambil keputusan atas hal yang merusak muruah akademik.

(4) KIKA mendesak Mendiktisaintek dan juga Pimpinan perguruan tinggi tegas melaksanakan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual (TPKS) dan Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi, dengan mendorong pihak pemerintah maupun kampus untuk tidak segan bertindak tegas terhadap kasus kekerasan seksual, termasuk KIKA memperingatkan keras bagi kampus agar serius mengimplementasikan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.

(5) KIKA mendorong dan terus bisa menumbuhkembangkan resiliensi insan kampus dan masyarakat sipil dalam membentengi kebebasan akademik yang semakin tertekan akibat serangan, ancaman, dan intimidasi oleh otoritas, baik internal perguruan tinggi maupun otoritas negara yang mengancam suara kritis mahasiswa, kelompok akademisi yang kritis terhadap kebijakan publik yang tidak tepat dan problem SDA, serta masalah serius integritas akademik di
Indonesia.

(tim redaksi)

Baca berita kami lainnya di
Tag berita:
Berita terkait
Beritakriminal