Selasa, 21 Mei 2024

Sederet Pekerjaan Rumah Menanti Laksamana Yudo Margono Sebagai Panglima TNI Baru

Selasa, 29 November 2022 15:15

KOMANDO - KSAL Laksamana Yudo Margono. Foto: TNI AL

VONIS.ID - Secara resmi Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengajukan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono, sebagai calon Panglima TNI, menggantikan Jenderal Andika Perkasa, yang akan pensiun pada 21 Desember 2022 mendatang.

Laksamana Yudo Margono bakal menjalani uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) sebagai calon Panglima TNI di DPR pada Rabu (30/11).

DPR kemudian akan menggelar rapat paripurna pada Kamis (1/12) sebagai persetujuan penunjukan Yudo Margono.

Bakal menjadi Panglima TNI, ada sederat pekerjaan rumah yang harus diperhatian Yudo Margono.

Pengamat militer dan pertahanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyoroti masa abdi Andika yang terbilang singkat juga bakal dialami Yudo, yang pensiun pada November 2023.

Atas dasar itu, ia menilai Yudo tak perlu harus merasa terbebani karena cukup menyesuaikan prioritas-prioritas dari pekerjaan-pekerjaan rumah yang ada, serta melanjutkan agenda-agenda yang sudah diawali Andika dan belum tuntas.

"Semisal dalam penanganan masalah Papua, pembangunan pertahanan Ibu Kota Negara (IKN), pemantapan interoperabilitas matra, maupun respons strategis atas potensi eskalasi di Utara dan Selatan perairan Indonesia," ujar Khairul, dilansir dari CNN Indonesia, Senin (28/11/2022).

Menurut Khairul, Indonesia membutuhkan sosok Panglima TNI yang kuat secara manajerial dan kemampuan berfikir strategis, mampu membangun komunikasi sosial termasuk dalam kerangka diplomasi pertahanan.

Di balik itu, Khairul juga menilai RI butuh panglima TNI yang low profile, terutama dalam hal-hal yang bersifat politis.

Pasalnya Yudo masih akan dihadapkan pada sejumlah tantangan besar seperti isu dinamika lingkungan strategis, juga menyangkut pengembangan organisasi, soal moral, kompetensi dan kesejahteraan prajurit maupun modernisasi alat utama sistem pertahanan (alutsista).

"Di sisi lain, juga harus tetap menjaga sinergitas dengan Polri dan lembaga-lembaga lain," kata Khairul.

Terpisah, Pengamat Militer dan Intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati mengatakan Panglima baru mesti memiliki sejumlah kemampuan.

"Ke depan kita harus siap memiliki Deterence Strategy (penangkalan) dalam hadapi perang. Bukan hanya perang Konvensional, tapi juga perang modern, perang nuklir, biologi dan kimia (nubika), dan perang siber," kata Nuning, sapaan akrabnya.

"Dari sudut pandang intelijen Badan Intelijen Strategis (BAIS), TNI juga harus meningkatkan sumber daya manusianya," tambah Nuning.

Nuning ikut menyoroti pelbagai masalah yang selama ini terjadi di wilayah Indonesia maupun di perbatasan.

"Panglima TNI baru dalam waktu singkat harus juga menangani Papua dan daerah perbatasan yang sarat konflik dengan baik," jelas Nuning.

Menurut Nuning, TNI setidaknya mesti memiliki kemampuan komunikasi antar budaya, mengingat banyaknya suku dan lembaga adat di Papua.

Selain itu, TNI di Papua dinilai juga harus piawai dalam membina hubungan dengan stakeholder, seperti pejabat daerah dan kepala suku.

"PR Panglima TNI juga di kawasan harus memiliki strategi hadapi AUKUS, fluktuasi di Laut Cina Selatan, adanya perang Rusia vs Ukraina yang merupakan perang multidimensi," imbuh dia.

Lain halnya dengan Khairul yang melihat masalah perbatasan dan konflik Papua sebagai masalah pemerintah.

TNI, terang dia, memang memiliki peran sebagai penegak kedaulatan dan penjaga keutuhan wilayah. Kendati demikian, patut digarisbawahi bahwa masalah tersebut bukan hanya berkaitan dengan isu kedaulatan dan keamanan, serta dapat diselesaikan dalam waktu singkat.

"Menurut saya itu lebih tepat dikatakan sebagai masalah pemerintah. TNI hanya perlu memastikan kesiapannya mendukung dan mengawal agenda program kebijakan yang dirancang pemerintah di kawasan perbatasan maupun sebagai resolusi konflik di Papua," jelas Khairul.

"TNI bisa mengambil porsi penugasan lain dalam menunjang kinerja pemerintah untuk membangun Papua. Misalnya dengan memperkuat bidang intelijen, pengumpulan informasi dan penyebarluasan propaganda positif di Papua sehingga dapat apa yang diharapkan masyarakat lokal dapat selaras dengan kebijakan pemerintah," tambah dia.

Sementara itu, Pengamat militer Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia Beni Sukadis menilai, TNI tidak bisa melakukan apa-apa terkait Papua karena terkait kebijakan pemerintah sebagai pemegang wewenangnya.

"Selama pemerintah menganggap konflik biasa artinya menempatkan Polri sebagai leading sector dalam penanganan konflik, bukan TNI," kata Beni.

Beni turut menyoroti perihal tantangan atau ancaman saat ini dan ke depan yang berasal dari wilayah maritim.

"Menjaga wilayah Natuna Utara dari ancaman dari negara besar seperti Cina yang terus mengklaim sembilan garis putus sehingga beririsan dengan wilayah ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) kita," terang Beni.

"Di lain sisi, wilayah maritim yang luas ini belum bisa dijaga secara optimal oleh TNI, sehingga kasus pencurian ikan, pelanggaran batas wilayah atau ZEE, penyelundupan, dan lainnya masih terjadi," sambungnya.

(redaksi)

Baca berita kami lainnya di
Tag berita:
Beritakriminal