Meski meminta perpanjangan waktu, Rio mengaku akan tetap memberikan laporan hasil kinerja Satgas BLBl selama 2 tahun terakhir.
Dia berjanji laporan tersebut akan sampai di meja Presiden Joko Widodo pada Oktober 2023.
Sejarah Kasus BLBI
Kasus BLBI lahir dari dampak krisis moneter yang terjadi pada 1998.
Bermula dari upaya pemerintah menyelamatkan perekonomian Tanah Air dari melemahnya rupiah ke level 15.000 per dolar Amerika kala itu.
Pelemahan mata uang Garuda terhadap greenback secara signifikan menyebabkan aksi penarikan uang berjamaah di bank-bank Tanah Air pada 1997.
Alhasil, tidak butuh waktu lama likuiditas di perbankan Tanah Air ikut terkuras dan berujung pada kredit perbankan macet.
Untuk mengatasi kesulitan likuiditas bank-bank tersebut, pemerintah dan Bank Indonesia sepakat menanggung beban bersama lewat skema bantuan yang dikenal dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia BLBI.
Dana Moneter Internasional (IMF) juga meminta Indonesia untuk menyuntikkan dana bantuan kepada sejumlah bank yang mengalami krisis.
Kemudian, pada Desember 1998, BI mengguyur bantuan kepada 48 bank di Indonesia melalui skema BLBI dengan besaran mencapai Rp 144,53 triliun.
Namun, pada 2000, Badan Pemeriksa Keuangan menemukan indikasi kerugian negara sebanyak Rp 138,7 triliun dari penyaluran dana BLBI.
Selain itu, hasil temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan memperlihatkan penyimpangan dana hingga Rp 54,5 triliun oleh 28 bank penerima dana BLBI tersebut.
Kasus semakin memanas pada 2002, saat Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002.
Instruksi tersebut mengenai pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menuntaskan kewajiban maupun yang mangkir dari kewajibannya.
Berdasarkan kebijakan tersebut, Badan Penyehatan Perbankan Nasional juga ditugaskan menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk bank yang membereskan utangnya.
Sedangkan mereka yang belum membayarkan kewajibannya akan dikenakan sanksi.