Untuk melanjutkan sisa masa jabatan, terdapat lima hakim konstitusi yang harus memperoleh restu dari lembaga pengusul, yang mana sarat akan konflik kepentingan.
Aturan peralihan ini problematik karena berlaku surut bagi hakim konstitusi yang saat ini menjabat.
DPR dan Presiden perlu mengingat pesan dalam Putusan MK Nomor 81/PUU-XXI/2023, 29 November 2023, bahwa perubahan substansi undang-undang tidak boleh merugikan subjek yang menjadi adresat dari substansi perubahan
undang-undang dimaksud. Dalam konteks ini, perubahan ini tidak boleh merugikan hakim konstitusi yang sedang menjabat. Selain itu, tidak terdapat fairness (keadilan) dalam penerapan ketentuan ini, sebab empat hakim konstitusi lainnya yang menjabat di bawah lima tahun tidak melewati mekanisme serupa.
Dengan demikian, hal ini semakin menguatkan syak wasangka bahwa Rancangan Perubahan Keempat UU MK
ditujukan untuk pembersihan hakim konstitusi.
“Berdasarkan penjelasan di atas, kami dengan tegas MENOLAK Rancangan Perubahan Keempat UU MK untuk disahkan dalam rapat paripurna,” tandasnya.
Oleh karena itu, CALS menyatakan sikap sebagai berikut:
1. DPR dan Presiden tidak meninggalkan warisan yang buruk dengan menghentikan pembahasan dan tidak mengesahkan Rancangan Perubahan Keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi karena substansinya mengancam prinsip-prinsip negara hukum, demokrasi, dan independensi Mahkamah Konstitusi;
2. DPR dan Presiden menyusun undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi yang komprehensif dan berorientasi pada penguatan kelembagaan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menjaga konstitusi dan melindungi hak-hak konstitusional warga negara dengan perencanaan yang memadai dan kajian akademis yang mumpuni, serta memperhatikan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation). (tim redaksi)