Selasa, 19 Maret 2024

Berita Nasional Trending

Institusi Prabowo Diguncang Masalah, Kerugian Negara Nyaris Rp 1 Triliun, Ini Duduk Soal Kasus Satelit Kemenhan

Sabtu, 15 Januari 2022 23:50

ILUSTRASI - Kasus proyek satelit Kemenhan. (Dok Kemenhan dan freepik)

VONIS.ID - Institusi pimpinan Prabowo Subianto, Kementerian Pertahanan tengah diguncang masalah besar, kerugian negara nyaris Rp1 triliun, berikut duduk persoalan kasus satelit Kemenhan.

Mendadak Kejaksaan Agung melaporkan kasus besar yang menimpa Kementerian Pertahanan.

Institusi pimpinan Prabowo Subianto itu disebut telah merugikan negara nyaris Rp 1 triliun akibat proyek bernama satelit komunikasi pertahanan atau Satkomhan.

Meski demikian, proyek satelit Kemenhan ini tak ada sangkut pautnya dengan Prabowo Subianto meski saat ini menjabat Menteri Pertahanan RI.

Rupanya proyek satelit Kemenhan ini terjadi sejak periode 2015 ketika Menteri Pertahanan saat itu dijabat Jenderal (Pur) Ryamizard Ryacudu.

Kasus proyek satelit Kemenhan ini juga melibatkan sejumlah personel TNI.

Panglima TNI, Jenderal Andika Perkasa sudah memberi lampu hijau agar pihak terkait segera diperiksa, termasuk personel TNI yang terlibat.

Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menjelaskan duduk soal proyek satelit Kemenhan yang merugikan negara besar-besaran.

Dalam kasus ini, Indonesia digugat di pengadilan arbitrase internasional sehingga harus membayarkan uang sewa dan biaya arbitrase dengan nilai tak main-main, nyaris Rp 1 triliun.

Jaksa Agung, ST Burhanuddin mengklaim pihaknya telah lama melakukan penyelidikan terhadap kasus ini.

Dalam waktu dekat, kasus satelit Kemenhan ini akan segera masuk ke tingkat penyidikan.

"Kami sudah melakukan penelitian dan pendalaman atas kasus ini, dan sekarang sudah hampir mengerucut.

Insya Allah dalam waktu dekat perkara ini naik ke penyidikan," kata ST Burhanuddin, di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (13/1/2022).

Dari hasil penyelidikan ini, ST Burhanuddin mengatakan, telah memiliki cukup bukti untuk masuk ke tingkat penyidikan.

Tetapi Kejagung enggan membeberkan pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam proyek satelit Kemenhan.

"Ini masih masih pendalaman, artinya kami belum menentukan, penyidikan baru akan ditentukan sehari dua hari ini ya," ungkap ST Burhanuddin.

"Pasti kerugian-kerugian sudah dilakukan pendalaman tetapi nanti finalnya ada di BPK dan BPKP," ujarnya menambahkan.

Awal Mula Mencuat


Kasus permasalahan pengelolaan satelit Kemenhan ini bermula ketika Satelit Garuda-1 keluar orbit dari slot orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) yang menyebabkan terjadinya kekosongan pengelolaan oleh Indonesia pada 19 Januari 2015.

Berdasarkan aturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali slot orbit.

Apabila tak dipenuhi, hak pengelolaan slot orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan oleh negara lain.

Ketika slot orbit 123 mengalami kekosongan pengelolaan, Kemenhan kemudian mengajukan permintaan untuk mendapatkan hak pengelolaan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo).

Permintaan ini berkaitan dengan rencana Kemenhan yang akan menjalankan proyek satelit komunikasi pertahanan atau Satkomhan.

Tetapi kemenkominfo ternyata tak langsung menanggapi permintaan tersebut.

Lantas Kemenhan tiba-tiba bergerak sendiri dengan membuat kontrak sewa bersama Satelit Artemis milik Avanti Communication Limited pada 6 Desember 2015.

Padahal persetujuan penggunaan slot orbit 123 derajat Bujur Timur dari Kemkominfo baru keluar pada 29 Januari 2016.

Saat menekan kontrak bersama Avanti, belakangan terungkap bahwa Kemenhan ketika itu belum memiliki anggaran untuk keperluan proyek satelit militer.

Anggaran untuk keperluan proyek ini baru tersedia pada 2016, namun Kemenhan melakukan self blocking.

Tak berhenti sampai di situ, Kemenhan kemudian juga tetap menekan kontrak bersama Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat pada periode 2015 hingga 2016, yang anggarannya pada 2015 juga belum tersedia.

Rugi ratusan miliar Setelah beberapa tahun pasca-penandatanganan kontrak, Avanti menggugat Kemenhan di London Court of Internasional Arbitration.

Gugatan ini karena Kemenhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani.

Pada 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp 515 Miliar.

Selain itu, Navayo yang sebelumnya juga telah menandatangani kontrak dengan Kemenhan menyerahkan barang yang tidak sesuai dengan dokumen certificate of performance, namun tetap diterima dan ditandatangani oleh pejabat Kemenhan dalam kurun waktu 2016-2017.

Navayo kemudian mengajukan tagihan sebesar USD 16 juta kepada Kemenhan.

Namun, saat itu pemerintah menolak untuk membayar sehingga Navayo menggugat ke Pengadilan Arbitrase Singapura.

Berdasarkan putusan Pengadilan Arbitrase Singapura pada 22 Mei 2021, Kemenhan diputus harus membayar USD 20.901.209 atau sekitar Rp 314 miliar kepada Navayo.

Sementara itu, Mahfud MD menyatakan, selain keharusan membayar kepada Navayo, institusi pimpinan Prabowo Subianto juga berpotensi ditagih pembayaran oleh Airbus, Detente, Hogan Lovells dan Telesat yang sebelumnya telah menjalin kontrak dengan Kemenhan.

"Sehingga negara bisa mengalami kerugian yang lebih besar lagi," kata Mahfud MD.

Respons Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa

Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mencium adanya indikasi keterlibatan personel TNI dalam proyek satelit Kemenhan.

Jenderal Andika Perkasa mengaku sudah dipanggil Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD untuk diinformasikan soal adanya keterlibatan oknum TNI itu.

“Beliau (Mahfud) menyampaikan bahwa proses hukum ini segera akan dimulai dan memang beliau menyebut ada indikasi awal, indikasi awal beberapa personel TNI yang masuk dalam proses hukum," ungkap Andika Perkasa di Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (14/1/2022).

Sebagai Panglima TNI, Jenderal Andika mendukung, keputusan pemerintah untuk melakukan proses hukum kepada oknum terkait.

Ia pun masih menunggu nama-nama anggota TNI yang diduga terlibat dalam kasus tersebut.

"Jadi kami menunggu nanti untuk nama-namanya yang memang masuk dalam kewenangan kami," ungkapnya.

(*)

Baca berita kami lainnya di
Tag berita:
Berita terkait
Beritakriminal