VONIS.ID - Tak kurang 55 akademisi yang berasal dari berbagai daerah berikan sikap mereka atas kejadian yang ada di Desa Wadas Purworejo Jawa Tengah.
Tergabung dalam Para Akademisi Peduli Wadas, mereka menyuarakan beberapa hal.
Termasuk soal tindakan masuknya aparat ke Desa Wadas.
"Kami, para akademisi dari 31 kampus/institusi riset, menyoroti tindakan penerjunan ribuan aparat kepolisian ke Desa Wadas, Purworejo pada 7-8 Februari 2022. Dari sejumlah informasi yang kami olah, pengerahan aparat tersebut disertai dengan berbagai tindakan yang tak jelas legitimasi hukumnya, berkaitan dengan jaringan internet, intimidasi, pemukulan, dan penangkapan puluhan warga Desa Wadas beserta para pendampingnya," ujar Rina Mardiana pihak dari Para Akademisi Peduli Wadas, melalui keterangan tertulis kepada tim redaksi.
"Tindakan sweeping, bahkan kepada warga yang sedang melakukan istighosah atau pergi beribadah di masjid, menjadi penanda ketidakjelasan aparat penegak hukum bekerja secara profesional. Diketahui juga, saat memasuki Desa Wadas, polisi juga merobek dan mencopoti poster-poster penolakan penambangan di Desa Wadas," lanjutnya.
Disampaikan kemudian, tindakan kesewenang-wenangan aparat kepolisian tidak hanya berhenti sampai di sana.
Ketika proses pengukuran lahan sedang berjalan pada 8 Februari 2022, aparat kepolisian mendatangi ibu-ibu yang sedang membuat besek di posko-posko jaga dan merampas besek, pisau, dan peralatan untuk membuat besek.
"Kami juga menerima informasi penghalang-halangan tim kuasa hukum LBH Yogyakarta untuk melakukan pendampingan warga yang ditangkap di Polsek Bener, dengan alasan Covid-19. Terjadi pula peretasan akun Instagram LBH Yogyakarta pada tanggal 8 Februari 2022. Tentu ini peristiwa bukanlah yang pertama terjadi. Peristiwa serupa terjadi pada tanggal 23 April 2021," ujar Herlambang P. Wiratraman, narahubung Para Akademisi Peduli Wadas.
"Tidak boleh ada tindakan hukum negara, termasuk aparat kepolisian, yang tak bisa tidak dipertanggungjawaban. Tiadanya pertanggungjawaban atas peristiwa tersebut melahirkan ketidakpercayaan publik terhadap Pemerintah dan aparat penegak hukum," lanjutnya.
Dijelaskan bahwa protes yang dilakukan Warga Desa Wadas terhadap penambangan batuan andesit untuk proyek pembangunan Bendungan Bener, Purworejo merupakan hak-hak konstitusional, dijamin oleh UUDNRI Tahun 1945 dan jelas bukan merupakan pelanggaran hukum.
Sedangkan pengerahan pasukan besar-besaran tanpa alasan yang jelas, intimidasi, serangkaian tindak pemukulan, perampasan, perusakan yang dilakukan aparat, penangkapan sewenang-wenang, penghalang-halangan tim kuasa hukum mendampingi warga, pemadaman listrik dan jaringan internet termasuk peretasan Instagram LBH Yogyakarta, disebut adalah justru bentuk bekerjanya penegakan hukum represif, tidak hanya melanggar hukum, melainkan pula melanggar hak-hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi dan perundang-undangan.
"Kami menilai Gubernur Jawa Tengah dan Kapolda Jawa Tengah harus bertanggung jawab atas semua tindakan melanggar hukum yang telah dilakukannya. Tak terkecuali, mendesak Kapolda Jateng segera menarik seluruh pasukan dari Desa Wadas dan bekerja secara professional, berintegritas, patuh pada prinsip-prinsip Negara Hukum demokratis. Intimidasi di lapangan, dalam segala bentuknya harus dihentikan, karena tak sejalan dengan perlindungan hak atas rasa aman," ujar Rina Mardiana.
Para Akademisi Peduli Wadas juga mendesak, proyek Bendungan Bener yang merupakan bagian Proyek Strategis Nasional (PSN), harus ditinjau kembali urgensinya, terlebih dengan cara-cara kekerasan yang menyertai proses pembangunannya.
"Kami pula mengingatkan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak, sebagaimana pula menghargai pilihan Warga Desa Wadas untuk tetap menjaga menjadikan lahan pertanian dan wilayahnya dari proyek pembangunan bendungan, " katanya lagi.
(redaksi)