Sabtu, 23 November 2024

Kaltim Update

Putusan Mahkamah Partai Jadi Dasar Pergantian Ketua Dewan, Akademisi Unmul Anggap Ada Kemunduran Cara Berpikir

Kamis, 11 November 2021 18:57

HEADSHOT - Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah (Castro)/ IST

VONIS.ID - Pandangan dari kalangan akademisi diberikan Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah atas proses pergantian Ketua DPRD Kaltim dari Makmur HAPK ke Hasanuddin Masud.

Castro, biasa ia disapa anggap bahwa keputusan paripurna untuk melanjutkan proses pergantian ketua DPRD itu, pertanda politik lebih dominan dibanding hukum.

"Mereka itu kan disumpah untuk menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan. Lantas bagaimana mungkin mereka melepeh sumpah itu dengan mendahulukan nafsu politik dibanding aturan hukum?," ujar Castro, Rabu (3/11/2021).

"Ini jelas kemunduran cara berpikir anggota DPRD yang tidak layak ditonton publik. Logikanya begini, sifat putusan mahkamah partai itu kan tidak final dan mengikat, jadi tidak bisa diproses sebelum berkekuatan hukum tetap melalui putusan pengadilan. Satu-satunya putusan partai yang final dan mengikat adalah soal kepengurusan sebagaimana disebut di Pasal 32 ayat (5) UU 2/2011. Jadi selama masih ada upaya hukum yang dilalukan oleh pihak yang keberatan dengan putusan mahkamah partai, maka putusan itu belum bisa dieksekusi," jelasnya lagi.

Dijelaskan Castro, contoh kongkritnya kasus Fahri Hamzah yang dipecat PKS di DPR-RI, atau kasus Viani Limardi yang dipecat PSI di DPRD DKI.

Usulan pergantiannya tidak bisa langsung dieksekusi, sebelum upaya hukum di pengadilan clear.

"Jadi seharusnya DPRD secara kelembagaan taat terhadap hukum, bukan tunduk terhadap kepentingan golongan. Yang lebih aneh lagi, ada anggota DPRD yang goyah iman-nya hanya karena desakan kelompok tertentu. Itu kan konyol namanya," kata Castro.

Diberitakan sebelumnya, proses pergantian Ketua DPRD Kaltim dari Makmur HAPK ke Hasanuddin Mas'ud kembali menghangat.

Hal ini usai dalam rapat paripurna yang digelar pada Selasa (2/11/2021), nyaris seluruh fraksi setuju dengan usulan itu.

Hanya Fraksi Gerindra yang memutuskan walkout dari rapat paripurna itu.

Proses pergantian Ketua DPRD Kaltim ini pun menarik pula untuk disimak.

Tim redaksi pojoknegeri.com himpun informasi perihal hal itu.

Pertama, usulan pergantian Makmur HAPk itu datang dari Golkar.

Hal itu tertuang melalui Surat DPD Golkar bernomor: 108/DPD/GOLKAR/KT/III/2021, tanggal 15 Maret 2021 perihal Usulan Pergantian Ketua DPRD Kaltim Periode Tahun 2019-2024.

Surat dari DPD itu kemudian berbuah adanya surat dari DPP Golkar dengan nomor: B-600/GOLKAR/VI/2021, tanggal 16 Juni 2021 tentang Pergantian Antar Waktu Pimpinan DPRD Provinsi Kalimantan Timur Periode 2019-2024.

Di tengah proses pergantian itu, terjadi pula gugatan ke Mahkamah Partai Golkar, yang berujung pada tak disetujuinya upaya Makmur HAPK untuk menggugat keputusan pergantian itu.

Tak berhenti, Makmur HAPK kemudian melanjutkan ke proses gugatan hukum di Pengadilan Negeri Samarinda.

Gugatan itu bernomor 204/ Pdt.G/2021PN Smr.

Gugatan itu diajukan ke pihak-pihak Partai Golkar, mulai dari Airlangga Hartanto, Ketua Umum Golkar, hingga Rudy Masud, Ketua DPD Golkar Kaltim saat ini.

Saat ini, proses gugatan itu masih berlanjut di PN Samarinda.

Belum selesai gugatan dan hasil inkrach di PN Samarinda, kabar terbaru kemudian datang mengagetkan.

Yakni adanya keputusan DPRD Kaltim yang menyetujui usulan pergantian Ketua DPRD Kaltim itu.

Dikonfirmasi terkait persetujuan dewan tersebut, Muhammad Samsun, Wakil Ketua DPRD Kaltim menegaskan keputusan persetujuan menjadi dilema di pihak DPRD.

Hanya saja, untuk menjaga kondusifitas kedewanan, dirinya terpaksa menyetujui usulan pergantian tersebut.

"Ini kan ribut terus ini. Tiap paripurna pasti ribut," ungkap Samsun, ditemui Selasa (2/11/2021).

"Gak produktif kita (DPRD Kaltim). Mengganggu kinerja dewan," sambungnya.

Hal yang menjadi pertanyaan adalah mengapa dewan tetap mengeluarkan putusan, saat proses hukum Makmur HAPK di PN Samarinda masihlah belum selesai?

Contoh kasus

Tim redaksi pojoknegeri.com himpun referensi perihal kasus-kasus yang sama terkait hal ini.

Pertama adalah kasus dari mantan Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah.

Saat itu, PKS mengajukan kepada pimpinan DPR RI untuk penggantian posisi Fahri Hamza sebagai Wakil Ketua Dewan di DPR RI.

Dalam proses tersebut, PKS pun telah mengajukan surat penggantian Fahri Hamzah untuk dirumuskan ke Badan Musyawarah (Banmus).

Kala itu pimpinan dewan tidak mengamini surat penggantian yang diajukan oleh PKS. Dalam hal itu, pimpinan dewan menganggap bahwa masih ada gugatan hukum yang belum mencapai final, antara Fahri Hamzah dan PKS.

Diketahui, saat itu, Fahri menggugat PKS di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam kasus itu, Fahri Hamzah menggugat PKS dikarenakan menganggap pencopotan dirinya dilakukan secara sepihak.

Kasus kedua, yang juga serupa, terjadi di Cirebon.

Di Cirebon, Ketua DPRD Cirebon, Affiati diusulkan diganti oleh partainya, yakni Gerindra.

Surat pergantian Affiati itu, tertuang dalam SK tentang pergantian Pimpinan/Ketua DPRD Kota Cirebon Periode 2019-2024 Nomor: 06-0108/Kpts/DPP-GERINDRA/2021 tanggal 19 Juni 2021.

Dalam surat tersebut, Affiati digantikan oleh Ruri Tri Lesmana.

Atas hal itu, Affiati kemudian menggugat hal itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Berbeda dengan kasus Makmur HAPK, pihak DPRD Cirebon tidak langsung mengamini pergantian Affiati.

Hal ini dikarenakan pihak DPRD Cirebon menunggu keputusan berkekuatan hukum tetap atas gugatan Affiati di PN Jakarta Selatan. 

Artikel ini telah tayang di pojoknegeri.com

(tim redaksi)

Baca berita kami lainnya di
Tag berita:
Beritakriminal