IMG-LOGO
Home Nasional PWYP Sorot Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah dan Produk Kilang PT Pertamina dan Serukan Perubahan
nasional | umum

PWYP Sorot Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah dan Produk Kilang PT Pertamina dan Serukan Perubahan

oleh La Hasa - 28 Februari 2025 14:25 WITA
IMG
Ilustrasi kantor Pertamina yang sorot dan didesak PWYP Indonesia terkait korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang. (IST)

VONIS.ID, JAKARTA - Publish What You Pay (PWYP) Indonesia - koalisi organisasi masyarakat sipil menyorot tajam perihal korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina.

Desakan untuk melakukan momentum perubahan terus disuarakan. Terlebih untuk transparansi dan akuntabilitas tata kelola energi dan sumber daya alam (SDA) menegaskan kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina yang kini ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung) menjadi bukti buruknya tata kelola minyak dan gas bumi (migas) Indonesia sepanjang satu dekade terakhir.

Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Aryanto Nugroho menyebut bahwa terungkapnya kasus ini harus menjadi momentum untuk melakukan pembenahan tata kelola migas di Indonesia di sepanjang rantai supply chain migas, termasuk aspek tata niaganya.

Di satu sisi, Kejagung harus mengejar aktor-aktor lain yang terlibat dalam dugaan korupsi sistematis dan terstruktur ini.

“Seharusnya akan banyak pihak lain yang terlibat jika melihat dugaan korupsinya yang hampir terjadi di rantai supply chain-nya dalam kurun waktu 2018-2023. Mulai dari dugaaan peng-kondisian Rapat Optimasi Hilir (OH) yang dijadikan dasar untuk menurunkan readiness/produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya dan akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang diperoleh dari impor; pengadaan impor minyak mentah maupun impor produk kilang; dugaan mark up kontrak shipping (pengiriman); maupun dugaan blending Ron 90 atau lebih rendah di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92," jelasnya, dalam rilis PWYP Indonesia yang diterima, Jumat (28/2/2025).

PWYP Indonesia mendesak Kejagung untuk memastikan seberapa besar dan kemana aliran dana hasil dugaan mark up maupun potensi kick back ini mengalir. Jangan sampai terkesan nilai korupsi fantastis, tetapi tidak bisa ditelusuri kemana aliran dananya mengalir.

Di sisi lain, Pemerintah harus melakukan upaya pembenahan tata kelola migas, termasuk tata niaga-nya secara sistematis dan integral.

“Jika ini tidak dilakukan, ini hanya akan menangkap mafia migas yang satu, dan nantinya akan digantikan mafia migas lainnya. Karena sistem-nya tidak dibenahi secara sistematis dan integral," tambahnya.

Modus Lama, Tanpa Perbaikan

Merujuk pada Rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM) yang diketuai oleh Alm. Faisal Basri satu dekade lalu, diantaranya:

* Menghentikan impor RON 88 dan Gasoil 0,35 persen sulfur, dan menggantinya masing-masing dengan impor Mogas92 dan Gasoil 0,25 persen sulfur

* Menata ulang seluruh proses dan kewenangan penjualan minyak mentah dan pengadaan minyak mentah dan BBM, termasuk di dalamnya pembubaran Petral dan melakukan audit forensik

* Harga eceran BBM ditetapkan berdasarkan rumusan pasti dan stabil, terbuka bagi masyarakat termasuk rumusan penentuan besaran “alpha”

* Revamping atau pembaruan kilang lama dan pembangunan kilang baru. Artinya, dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina, ditangani Kejagung ini bukanlah modus baru. Seharusnya, jika rekomendasi TRTKM dijalankan pemerintah, harusnya kejadian hari ini bisa dicegah. Yang terjadi, alih-alih menghapus Ron 88, Pemerintah malah menghadirkan Ron 90. Audit forensik Petral, tak ada kabar. Revamping atau pembaruan kilang lama dan pembangunan kilang baru selalu terkendala. Impor minyak cenderung meningkat dalam 10 tahun terakhir. Subsidi dan Kompensasi BBM yang kian membebani APBN. Terlambatnya penambahan kapal tanker untuk pengangkutan minyak mentah maupun produk kilang.

“Kami menduga, ada upaya mempertahankan situasi dimana Indonesia harus terus mengimpor minyak, melakukan blending maupun penyalahgunaan subsidi BBM, selama bertahun-tahun. Di situasi ini lah, Mafia Migas dan Pemburu Rente meraup keuntungannya.” jelas Aryanto.

Memperkuat Transparansi dan Akuntabilitas

Aryanto mendesak agar Pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM dan Kementerian BUMN, serta PT. Pertamina Holding membenahi transparansi dan akuntabilitasnya.

“Terkesan klise, namun ini harus dilakukan segera!”

Indonesia sebagai salah satu negara pelaksana Extractive Industries Transparency Initiatives (EITI) Indonesia misalnya. Berdasarkan validasi pelaksanaan EITI Indonesia yang diputuskan dan dirilis Board EITI Internasional akhir tahun 2024 lalu, Indonesia hanya memperoleh nilai 67 dari 100 atau masuk kategori cukup rendah.

Ada tiga komponen validasi, yaitu Transparansi, Keterlibatan Pemangku Kepentingan, hasil dan Dampak. Dari tiga komponen tersebut, skor Transparansi memberikan kontribusi paling besar terhadap rendahnya nilai Indonesia itu, karena paling rendah di antara tiga komponen tersebut. Yakni hanya 63,5 dari 100.

Masih dalam kerangka EITI, laporan transparansi perdagangan komoditas migas di awal tahun 2018 misalnya, menunjukkan meskipun laporan perdagangan komoditas EITI Indonesia mengungkapkan sejumlah besar informasi, data dari 80% transaksi perdagangan komoditas di negara tersebut tidak disertakan dalam laporan tersebut.

Dengan kata lain, masih banyak data yang belum dibuka oleh Pemerintah dan Pertamina terkait dengan ekspor dan impor minyak.

“Selain itu, perlu memperkuat partisipasi publik dalam hal pengawasan serta memastikan tidak terjadi asimetri informasi sehingga kontrol publik berjalan” desaknya.

Asimetri Informasi Seputar Kasus Dugaan Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah dan produk kilang PT Pertamina.

Produk Kilang PT Pertamina

Saat ini, publik dibingungkan oleh perdebatan soal istilah blending dan oplosan; perbedaan pendapat antara Kejagung dan Pertamina, termasuk Komisi XII DPR terkait

“pengoplosan” impor minyak produk kilang dari yang tadinya RON 90 (setara Pertalite) menjadi menjadi RON 92 (setara Pertamax); maupun nilai kerugian negara yang fantastis mencapai Rp193,7 triliun, dan bahkan mungkin bertambah karena baru dihitung di tahun 2023 saja.

Agar tidak menjadi bola liar, Pemerintah, Pertamina dan instansi terkait (tanpa mempengaruhi independensi penegak hukum) harus bisa menjelaskan secara gamblang proses pengadaan minyak mentah maupun produk kilang, mekanisme blending, mekanisme pengapalan, mekanisme distribusi dan pemanfaatan subsidi BBM secara terbuka dan mudah dipahami oleh publik.

“Ini sekaligus sebagai langkah awal untuk melakukan perbaikan tata kelola yang sistemik dan integral”

Di satu sisi, Kejagung harus terus mengusut tuntas sampai akarnya secara transparan dan profesional. Namun juga tetap memastikan publik mendapatkan pemahaman yang utuh, mengingat banyak istilah teknis yang sulit dicerna publik serta nilai kerugian negara yang fantastis yang harus dapat dipertanggungjawabkan.

(tim redaksi)

Berita terkait