VONIS.ID, SAMARINDA - Penyitaan 19 kendaraan mewah milik pengusaha di Samarinda yang dilakukan KPK pada 31 Maret 2024 kemarin, diduga buntut dari penyelidikan yang pernah dilakukan pada 2020 lalu.
Berdasarkan catatan media ini, pada 13 Agustus 2020 lalu, penyidik KPK pernah memeriksa keterangan lima orang saksi dari pihak swasta terkait kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) eks Bupati Kukar, Rita Widyasari dan Khairudin, Komisaris PT Media Bangun Bersama (MBB).
Pemeriksaan saksi itu dilakukan di dua lokasi berbeda. Tiga saksi pertama, yakni Didi Marsono selaku Direktur Utama PT Bara Kumala Sakti (BKS) pada saat itu, Hermanto Cigot eks Dirut PT BKS periode 2008 - 2012, dan Trias Slamet P Pemegang saham PT Alam Jaya Bara Pratama diperiksa keterangannya oleh penyidik KPK di ruang Aula Wira Pratama, Mapolresta Samarinda.
Sedangkan dua saksi lainnya, yakni Amrul Indra dan Dharma Setyawan menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta. Pada pemeriksaan saksi kasus TPPU itu, media ini sempat melakukan wawancara kepada pihak terpanggil.
Pertama, Trias Slamet P, Pemegang saham PT Alam Jaya Bara Pratama seusai memberikan keterangan kalau pada saat itu dirinya baru pertama dipanggil oleh penyidik KPK.
“Kita cuma dari pihak swasta. Kalau berapa pertanyaan saya kurang hafal. Ini baru pertama kalinya dipanggil. Belum tahu lagi nanti (ada pemanggilan ulang),” singkat Slamet, pada Agustus 2020 lalu.
Setelah Trias Slamet P meninggalkan ruang pemeriksaan, selanjutnya terpantau saksi bernama Hermanto Cigot sebagai eks Dirut PT BKS keluar meninggalkan ruang pemeriksaan.
Pria berkacamata yang membawa tas slempang itu enggan berkomentar saat ditanya awak media mengenai cecaran pertanyaan yang diberikan penyidik KPK terkait kasus TPPU Rita Widyasari.
"Jangan tanya ke saya, kalau mau tanya ke dalam saja," jawabnya ketus sembari menghindari awak media.
Setelah Hermanto Cigot, terakhir saksi Didi Marsono terlihat keluar dan usai menjalani pemeriksaan KPK terkait TPPU Rita Widyasari. Kepada awak media, Didi menjawab semua pertanyaan yang dilayangkan awak media pada satu itu.
Kata Didi, sehari sebelum menjalani pemeriksaan dirinya bertolak dari kediamannya di Jakarta menuju Samarinda untuk memenuhi panggilan KPK di Mapolresta Samarinda.
Kepada awak media, Didi menerangkan kalau pada intinya penyidik KPK mencecar pertanyaan apakah dirinya pernah melakukan transaksi secara langsung kepada Rita Widyasari, maupun Khairudin.
"Intinya (pertanyaan KPK) adakah melakukan transaksi langsung dengan dua tersangka (Rita Widyasari dan Khairudin)," terangnya.
"Jawabannya tidak ada dan tidak pernah. Saya cuman tahu dengan dua tersangka tapi tidak kenal. Beberapa orang lainnya yang ditanyakan, saya bilang tidak kenal," sambung Didi.
Pada pemeriksaan di Agustus 2020 itu, Didi mengaku dicecar lebih dari 20 pertanyaan oleh penyidik KPK. Pemeriksaan keterangan Didi pun dilakukan selama lebih kurang enam jam.
Selain perihal transaksi, Didi kala itu juga mengaku ditanya terkait arah perizinan PT BKS di 2014 yang memiliki wilayah konsesi pertambangan di Loa Kulu dan Loa Janan Kabupaten Kukar.
Pada kesempatan itu, Didi menjelaskan kalau saat itu dirinya tak mengetahui pasti. Sebab Didi belum menjabat sebagai Dirut PT BKS. Perizinan kala itu terjadi saat PT BKS masih dipimpin Hermanto Cigot.
Pertanyaan itu ditujukan karena pada 2014 lalu, perizinan tambang masih berada di bawah kewenangan kepada daerah setingkat bupati/walikota, sebelum bergeser ke gubernur pada 2020, saat Didi menjalani pemeriksaan dari KPK.
“Jadi permohonan izin itu terjadi sebelum saya," tegasnya.
Meski dalam perkara ini, Didi mengaku baru pertama dipanggil, namun dalam perkara gratifikasi beberapa tahun lalu itu ia sempat juga menjalani pemeriksaan oleh penyidik KPK. Bahkan sebanyak dua kali dirinya dipanggil untuk menjalani pemeriksaan.
"Untuk sekarang sih sepertinya sudah selesai. Kalau dipanggil lagi saya pasti siap saja. Rencana besok sudah pulang lagi ke Jakarta," tutup Didi saat usai menjalani pemeriksaan KPK di 2020 lalu.
Untuk diketahui, kasus TPPU yang didalami KPK bermula saat penyidik Lembaga Super Power menetapkan Rita Widyasari, eks Bupati Kukar bersama Komisaris PT Media Bangun Bersama (MBB) Khairudin sebagai tersangka dalam tiga perkara rasuah.
Pertama, sebagai tersangka TPPU, yang mana keduanya diduga menerima uang Rp 436 miliar dari fee proyek, fee perizinan, serta fee pengadaan lelang barang dan jasa dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) selama menjabat Bupati Kutai Kartanegara.
Pada kasus TPPU, diduga Rita dan Khairudin menguasai hasil tindak pidana korupsi dan telah membelanjakan penerimaan hasil gratifikasi berupa kendaraan, tanah dan uang ataupun dalam bentuk lainnya yang diatasnamakan orang lain.
Selanjutnya Rita Widyasari dan Khairudin juga ditetapkan sebagai tersangka suap bersama Direktur Utama PT Sawit Golden Prima, Hery Susanto Gun alias Abun.
Di mana Rita Widyasari diduga menerima Rp 6 miliar dari Abun, terkait pemberian izin operasi untuk keperluan inti dan plasma perkebunan sawit PT Sawit Golden Prima di Desa Kupang Baru, Kecamatan Muara Kaman.
Terakhir, Rita dan Khairudin ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan gratifikasi. Rita bersama Khairudin diduga menerima uang Rp6,97 miliar terkait sejumlah proyek di Kabupaten Kutai Kartanegara.
(tim redaksi)