Minggu, 19 Mei 2024

Update Terkini

Soal Presidential Threshold, DPR Tidak Tutup Kemungkinan Revisi UU Pemilu

Rabu, 22 Desember 2021 3:43

Gedung DPR RI (mpr.go.id)

VONIS.ID - Polemik presidential threshold atau ambang batas presiden, terus menguat, DPR tidak tutup kemungkinan revisi UU Pemilu.

Belakangan ini sejumlah pihak ramai menyuarakan keluhan terkait presidential threshold sebesar 20 persen untuk Pemilu 2024.

Seruan mengenai ambang batas presiden itu tentu akan berdampak pada revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan lembaganya tidak menutup peluang adanya revisi UU Pemilu, karena selalu siap menyerap aspirasi.

"Jadi kita bukan tidak aspiratif. Tahapan-tahapan panjang proses revisi UU pemilu itu mungkin dilakukan, tapi nanti," kata Sufmi Dasco, Selasa (21/12/2021).

Tetapi, Sufmi Dasco mengakui revisi UU Pemilu tak mungkin dilakukan dalam waktu dekat.

Sebab tahapan Pemilu 2024 sudah mulai berjalan.

"Kita tampung untuk perbaikan-perbaikan ke depan.

Karena sekarang sudah masuk proses tahapan pemilu kemudian proses tahapan pemilu yang sudah jalan ini kemudian akan terganggu kalau kemudian kita membuat lagi revisi-revisi yang waktunya juga enggak akan cukup," jelas dia.

Tak perlu ada ambang batas presiden

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, tidak adanya ambang batas presiden jelas mempunyai banyak keuntungan.

Pertama, ia menyebut hal tersebut tidak sesuai dengan konsep sistem pemerintahan presidensial yang dianut.

"Dalam sistem presidensial yang kita anut, presiden dan DPR masing-masing dipilih oleh rakyat secara langsung.

Sehingga institusi yang satu tidak menentukan pencalonan istitusi yang lainnya," kata Khoirunnisa kepada Liputan6.com, Senin (20/12/2021).

Kedua, pencalonan presiden ke depan tidak lagi ditentukan hasil pemilu DPR yang berjarak jauh.

"Sehingga seharusnya pencalonan Presiden tidak bergantung dengan hasil pemilu DPR, apalagi itu hasil pemilu 5 tahun yang lalu," ungkap Khoirunnisa.

Dengan tanpa ambang batas, kata dia, tidak akan ada lagi gejolak politik yang berlebihan antar satu kandidat dengan yang lain.

"Justru ketika ada ambang batas pencalonan presiden menimbulkan gejolak.

Misalnya saat menentukan koalisi partai. Dengan tidak adanya ambang batas pencalonan ini justru partai bisa mencalonkan sendiri," jelas Khoirunnisa.

Diketahui, ketentuan presidential threshold ini kerap digugat ke Mahkamah Konstitusi.

Terbaru, mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang melayangkan gugatan.

Ia meminta MK membatalkan ketentuan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017.

Pasal tentang ambang batas presiden itu dinilai telah menghilangkan hak konstitusional setiap warga untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin bangsa.

Selain oleh Gatot Nurmantyo, ketentuan tentang presidential threshold telah berulang kali digugat ke MK.

Pihak penggugat mulai dari mantan Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M. Busyro Muqoddas, hingga mantan Menteri Keuangan M. Chatib Basri.

Sayangnya, seluruh gugatan itu ditolak.

Kendati demikian, hal itu tak menyurutkan spirit sejumlah pihak untuk menguji ketentuan tentang presidential threshold terhadap konstitusi.

(*)

Baca berita kami lainnya di
Tag berita:
Beritakriminal