VONIS.ID - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri merespons hasil temuan Indonesia Corruption Watch (ICW), yang membeber ada puluhan nama bakal calon anggota legislatif mantan terpidana kasus korupsi yang masuk dalam daftar calon sementara.
Firli mengatakan setiap warga negara miliki hak tetapi ada batasan yang mengatur di sana.
Firli mengatakan ada beberapa regulasi yang membuat seseorang bisa maju sebagai caleg meskipun rekam jejaknya sebagai mantan koruptor.
Ia mengatakan tokoh tersebut harus menyatakan kepada publik bahwa pernah menjadi narapidana.
"Di situ disarankan satu, apabila seseorang itu kena tindak pidana 5 tahun lebih. Kedua, tidak sedang menjalani pidana. Nah, ada keterangan dalam putusan judicial review itu satu, seketika orang itu narapidana, maka dia harus mengumumkan bahwa dia pernah menjadi narapidana," tutur Firli Bahuri, dikutip dari detik.com.
Ia menyebut caleg itu juga harus memberikan pernyataan kepada publik jika pernah berkasus.
Hal ini diwajibkan supaya publik tahu rekam jejak sosok yang dipilih.
Menurutnya semua kembali kepada kehendak rakyat apakah ingin memilih atau tidak.
Ia mengatakan setiap warga negara memiliki hak dalam berpolitik.
Ketentuan itu, kata dia, sesuai dengan regulasi yang berlaku.
"Nah tentu hak rakyat yang menentukan, apakah tetap akan memilih atau tidak saya kira itu ketentuannya seperti itu, karena proses hukum sudah selesai, proses politiknya setiap warga negara memiliki hak untuk dipilih maupun memilih," ungkapnya.
Di sisi lain, Pakar hukum pidana Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menyebut, mantan narapidana korupsi sangat mungkin kembali melakukan perbuatan pidana ketika kembali mendapatkan kekuasaan.
Pernyataan ini Bivitri sampaikan saat menanggapi belasan mantan narapidana korupsi yang tercatat dalam daftar calon sementara anggota DPR RI pada Pemilu 2024.
“Jangan lupa bahwa potensi diulangnya perilaku korupsi itu jadi sangat besar ketika seseorang diizinkan kembali memegang kekuasaan,” jelas Bivitri Susanti.
Bivitri mengatakan, korupsi merupakan tindakan pencurian yang dilakukan dengan kekuasaan.
Menurut dia, para mantan narapidana korupsi itu harus dicegah agar tidak sampai kembali menduduki kekuasaan.
Sebab, korupsi bukan persoalan budi pekerti melainkan sifat rakus.
Bivitri juga menyesalkan adanya dasar hukum bagi mantan narapidana korupsi yang kembali menjadi caleg.
Hal ini juga diperkuat dengan peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang membuka peluang lebih besar bagi mantan narapidana korupsi maju sebagai caleg.
Ia lantas mempersoalkan tindakan para pemilik otoritas yang hanya melaksanakan hukum tertulis.
Padahal, produk hukum seperti undang-undang dibuat oleh pemerintah dan DPR.
Sementara itu, 9 partai politik di parlemen memiliki kepentingan mereka.
Sebelumnya, berdasarkan temuan ICW, terdapat 24 mantan narapidana korupsi yang mengajukan diri sebagai calon anggota DPR RI.
Beberapa dari mereka pernah tersangkakan oleh KPK dan Kejaksaan.
Selain itu, baru-baru ini KPU merilis daftar 52 orang mantan narapidana umum dan khusus yang masuk dalam daftar calon sementara (DCS) pemilihan calon anggota legislatif 2024.
Dari 18 partai peserta Pemilu 2024, hanya empat partai yang tidak mencalonkan bekas narapidana.
Partai itu adalah Partai Gelora, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), dan Partai Bulan Bintang (PBB).
Smeentara, 14 partai lainnya mencalonkan mantan narapidana termasuk kasus korupsi.
Beberapa dari mantan narapidana korupsi itu adalah mantan Kabareskrim Susno Duadji yang maju di Dapil Sumatera Selatan II dari PKB.
Kemudian, Mochtar Mohamad yang menjadi terpidana kasus suap di lingkungan Pemerintah Kota Bekasi maju dari PDI-P.
Beberapa mantan terpidana kasus korupsi juga maju dari Partai Golkar seperti Wendy Melfa, Syahrasaddin, dan Teuku Muhammad Nurlif.
Kemudian, mantan Wali Kota Medan, Abdillah dari partai Nasdem, Rosalina Kase dari PArtai Buruh, Idham Cholid dari Hanura, dan Evy Susanti dari partai Demokrat.
(redaksi)