"Itu namanya saja pajak restoran, yang dimaksud pajak restoran itu adalah pajak usaha makananan, minuman ditempat dengan nama warung, kantin, restoran, cafe dan lainnya. Jadi dia itu (pajak restoran) tidak baku dalam bentuk restoran," beber Hermanus Barus.
Berdasarkan aturan itu, maka Hermanus Baru menilai jika warung Iga Bakar Sunaryo sudah sepantasnya melaksanakan kewajiban pajak restoran.
"Kita lihat dari harga menu di situ. Sekali makan di situ kan Rp 40-50 ribu. Dalam sehari ada berapa banyak yang makan, kemudian dia itu buka selama 24 jam. Kalau 10 saja (pelanggan) sehari, itu sudah Rp 500 ribu, di kali sebulan sudah Rp 15 juta. Kita hitung dulu di situ. Dari situ kita sudah bisa tahu (wajib pajak restoran)," urainya.
Dari hitungan tersebut, Hermanus mengakumulasi bahwa pendapatan warung Iga Bakar Sunaryo dalam setahun lebih kurang mencapai Rp 180 juta.
"Kita melihat saat ada dagangan yang sudah layak kena pajak, ya kita kenakan. Kita sudah lakukan persuasif bahkan dua bulan lalu. Sudah dilayani, dikasih peringatan, dikasih surat teguran berkali-kali agar segera mendaftarkan diri. Itu sudah dan mereka tahu, tapi mereka maunya itu lewat UMKM," terang Hermanus.
Dalam aturan pajak restoran, Hermanus pula menekankan bahwa dirinya tidak membedakan seluruh jenis usaha dagang.