VONIS.ID - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini sedang menyelidiki kasus dugaan korupsi sistem proteksi TKI di Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) pada 2012.
KPK mengatakan kasus ini menyebabkan negara merugi senilai Rp 17,6 miliar.
Dalam perkara ini, KPK telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka.
Tiga orang itu adalah mantan Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun 2011-2015 yang juga politikus PKB, Reyna Usman; pejabat pembuat komitmen Pengadaan Sistem Proteksi TKI tahun 2012, I Nyoman Darmanta; serta Direktur PT Adi Inti Mandiri (AIM) Karunia.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata pada saat penahanan tersangka menjelaskan sistem proteksi TKI merupakan tindak lanjut dari rekomendasi tim terpandu perlindungan TKI di luar negeri.
Alex mengatakan Reyna, yang saat itu menjabat Dirjen, mengajukan anggaran Rp 20 miliar pada 2012 untuk membuat sistem proteksi TKI di luar negeri.
Pada Maret 2012, menurut Alexander, ada pertemuan antara Karunia dan Nyoman untuk menyusun harga perkiraan sendiri dan disepakati penggunaan data tunggal dari PT AIM.
Proses lelang kemudian dikondisikan untuk memenangkan PT AIM.
Setelah kontrak dilaksanakan, ternyata terdapat item-item seperti komposisi hardware dan software yang tidak sesuai dengan spesifikasi dalam surat perintah mulai kerja.
Namun Nyoman telah menyetujui pembayaran 100 persen ke PT AIM.
KPK mengatakan pembayaran itu dilakukan meski hardware dan software sama sekali belum diinstal sama sekali untuk menjadi basis utama penempatan TKI di Malaysia dan Arab Saudi.
Perbuatan itu bertentangan dengan sejumlah aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Akibat perbuatan itu, ketiga tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 33 UU Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Nyoman dan Reyna telah ditahan, sementara Karunia diminta untuk kooperatif memenuhi panggilan KPK.
KPK pun memeriksa sejumlah saksi salah satunya ada Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar yang dulunya merupakan Menteri Tenaga Kerja (Menaker).
Kemudian terbaru hari ini politikus Ribka Tjiptaning diperiksa dalam kapasitasnya sebagai Ketua Komisi IX DPR RI saat itu.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto pun menilai kasus ini sebagai bentuk kriminalisasi hukum karena kadernya ikut diperiksa.
Selain itu, Hasto menduga Ribka dipanggil karena mengkritik keras pasangan nomor urut 2 Prabowo-Gibran.
Hasto kemudian menyinggung cawapres nomor urut 1 Muhaimin Iskandar atau Cak Imin yang pada saat debat dianggap menyentuh personal kandidat lain.
KPK sudah menegaskan bahwa kasus ini tidak ada hubungannya dengan Pemilu 2024.
KPK menegaskan kasus ini berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Investigatif dan Penghitungan Kerugian Negara (PKN) yang disampaikan BPK.
"Sebagaimana yang saya sampaikan KPK akan melakukan penanganan perkara tidak terpengaruh oleh kontestasi pemilu apa pun lah di tahun politik 2024, dan nggak ada hubungannya sama sekali," ucap Alexander Marwata.
Alexander mengatakan audit itu sudah lama diminta KPK ke BPK.
Dia mengatakan BPK baru menerbitkan hasil auditnya beberapa waktu lalu.
KPK menegaskan pemeriksaan Ribka tidak terkait dengan unsur politik.
Pemanggilan Ribka dinilai penting.
Sebab, pihaknya mendapatkan informasi soal adanya perantara untuk rekomendasi vendor dan kontraktor untuk pengadaan proteksi TKI di Kemnaker.
Ali menuturkan kasus tersebut memang terjadi pada 2012.
Namun, KPK baru menerima laporan pada 3 tahun yang lalu.
"Jadi betul waktunya 12 tahun, tahun 2012 tetapi masuk ke KPK-nya itu 2-3 tahun yang lalu sehingga KPK selesaikan laporan masyarakat itu," ujar Juru Bicara KPK, Ali Fikri.
Ali kembali menegaskan jika pemeriksaan Ribka tidak terkait dengan kriminalisasi.
Ali menuturkan pemeriksaan itu murni sebagai proses penegakan hukum. (tim redaksi)