Senin, 20 Mei 2024

Akar Sejarah Konflik di Keraton Solo, Berawal dari Perebutan Kekuasaan Antar Anak Selir

Minggu, 25 Desember 2022 8:33

Tampak depan Keraton Solo. Foto: Surakarta.go.id

Ia bertahta di luar keraton dengan dukungan dari saudara-saudaranya yang menilai dirinya lebih mampu menjadi pemimpin Kasunanan Solo.

Konflik Keraton Solo sempat teredam pada tahun 2012 ketika Hangabehi dan Tedjowulan sepakat berdamai dan menandatangani akta rekonsiliasi.

Saat itu, Wali Kota Solo Joko Widodo atau Jokowi dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Mooryati Sudibyo, berupaya mendamaikan dua kubu tersebut di Jakarta.

Dua kubu Keraton Solo itu pun menyepakati bahwa Hangabehi sebagai putra tertua dari PB XII tetap menjadi raja (PB XIII), sedangkan Tedjowulan menjadi Mahapatih dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Panembahan Agung.

Akan tetapi, Gusti Moeng dan saudara-saudaranya tidak menyepakati rekonsiliasi tersebut.

Mereka pun mendirikan Lembaga Dewan Adat (LDA) yang menyewa pendekar untuk menyandera PB XIII dan Mahapatih. 

Pihak LDA juga melakukan kudeta terhadap PB XIII yang dijabat oleh Hangabehi karena menilai raja baru itu melakukan sejumlah pelanggaran.

Selain itu, LDA bahkan melarang PB XIII dan pendukungnya memasuki area Keraton Solo.

Sejumlah pintu masuk raja menuju gedung utama pun dikunci dan ditutup menggunakan pagar pembatas.

Akibat peristiwa itu, PB XIII Hangabehi yang telah bersatu dengan Tedjowulan tak bisa bertahta di Sasana Sewaka Keraton Solo.

Pada bulan April 2017, konflik Keraton Solo kembali memanas.

Halaman 
Baca berita kami lainnya di
Tag berita:
Berita terkait
Beritakriminal