VONIS.ID, SAMARINDA - Penerbitan surat edaran (SE) Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas tentang aturan pengeras suara masjid dan musala yang ditetapkan dalam SE Menag No SE 05 tahun 2022 diharapkan perlu dievaluasi.
Hal itu diutarakan Subandi Wakil Ketua DPRD Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim) yang menilai bahwa alasan Menag mengeluarkan kebijakan itu untuk kerukunan umat justru tidak tepat.
"Kalau pendapat saya dalam keberagaman toleransi antar umat beragama sebenarnya kita di Indonesia ini sudah teruji.
Di tempat-tempat mayoritas muslim tidak pernah ada masalah," kata Subandi.
Bahkan, lanjut Subandi, toleransi antar umat beragama di seluruh Indonesia saat ini sudah teruji mulai puluhan hingga ratusan tahun yang lalu.
Menurutnya tidak pernah ada timbul gesekan sosial di masyarakat, khususnya Samarinda, yang dipicu perihal pengeras suara masjid tersebut.
"Karena yang ada selama ini (suara pengeras masjid) itu sudah sangat dimaklumi oleh sodara-sodara kita yang lainnya.
Kalau kemudian harus dibatasi seperti itu yang gimana ya," tanya Subandi.
Meski kebijakan tersebut belum ditetapkan diseluruh penjuru Indonesia, Subandi pun mengharapkan agar lebih dulu dilakukan evaluasi.
Ia berharap Pemerintah perlu membuka ruang dialog yang luas untuk melakukan kajian kebijakan tersebut.
"Kalau menurut saya, Menteri Agama harus membuka ruang dialog seluas mungkin agar kebijakan ini tidak salah tafsir di masyarakat," tegasnya.
Menurutnya, membuka ruang dialog penting untuk dilakukan guna menghindari persepsi buruk dari masyarakat terhadap pemerintah tentang kebijakan aturan pengeras suara masjid.
"Iya harus dibicarakan, mungkin kepada MUI atau tokoh alim ulama lainnya. Karena yang berjalan selama ini toh baik-baik saja," terangnya.
Kendati demikian, Subandi sejatinya tidak menolak kalau nantinya aturan tersebut benar akan diberlakukan ke seluruh wilayah Indonesia.
"Kalau itu memang sudah menjadi keputusan ya apa boleh buat. Tapi titik poinnya, tetap menteri agama harus membuka ruang dialog untuk menjelaskan apa urgensinya dan tidak menimbulkan salah tafsir," pungkasnya.
(Advetorial)