"Tidak boleh ada tindakan hukum negara, termasuk aparat kepolisian, yang tak bisa tidak dipertanggungjawaban. Tiadanya pertanggungjawaban atas peristiwa tersebut melahirkan ketidakpercayaan publik terhadap Pemerintah dan aparat penegak hukum," lanjutnya.
Dijelaskan bahwa protes yang dilakukan Warga Desa Wadas terhadap penambangan batuan andesit untuk proyek pembangunan Bendungan Bener, Purworejo merupakan hak-hak konstitusional, dijamin oleh UUDNRI Tahun 1945 dan jelas bukan merupakan pelanggaran hukum.
Sedangkan pengerahan pasukan besar-besaran tanpa alasan yang jelas, intimidasi, serangkaian tindak pemukulan, perampasan, perusakan yang dilakukan aparat, penangkapan sewenang-wenang, penghalang-halangan tim kuasa hukum mendampingi warga, pemadaman listrik dan jaringan internet termasuk peretasan Instagram LBH Yogyakarta, disebut adalah justru bentuk bekerjanya penegakan hukum represif, tidak hanya melanggar hukum, melainkan pula melanggar hak-hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi dan perundang-undangan.
"Kami menilai Gubernur Jawa Tengah dan Kapolda Jawa Tengah harus bertanggung jawab atas semua tindakan melanggar hukum yang telah dilakukannya. Tak terkecuali, mendesak Kapolda Jateng segera menarik seluruh pasukan dari Desa Wadas dan bekerja secara professional, berintegritas, patuh pada prinsip-prinsip Negara Hukum demokratis. Intimidasi di lapangan, dalam segala bentuknya harus dihentikan, karena tak sejalan dengan perlindungan hak atas rasa aman," ujar Rina Mardiana.
Para Akademisi Peduli Wadas juga mendesak, proyek Bendungan Bener yang merupakan bagian Proyek Strategis Nasional (PSN), harus ditinjau kembali urgensinya, terlebih dengan cara-cara kekerasan yang menyertai proses pembangunannya.
"Kami pula mengingatkan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak, sebagaimana pula menghargai pilihan Warga Desa Wadas untuk tetap menjaga menjadikan lahan pertanian dan wilayahnya dari proyek pembangunan bendungan, " katanya lagi.
(redaksi)