VONIS.ID - Tuntutan 12 tahun kepada Richard Eliezer alias Bharada E, terus menuai polemik.
Tak ingin jadi bulan-bulanan masyarakat, Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali menyampaikan penjelasannya kenapa menuntut Richard Eliezer 12 tahun penjara, lebih tinggi dibandingkan dengan tiga terdakwa lain, Putri Candrawathi, Kuat Ma'ruf dan Ricky Rizal.
Kejagung menanggapi soal status pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator (JC) Richard Eliezer.
Kejagung sempat menyinggung dan membandingkan Eliezer dengan regu tembak yang mendapat perintah berdasarkan undang-undang.
Awalnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung) Ketut Sumedana menerangkan bahwa pembunuhan berencana tidak secara tegas masuk dalam JC yang diatur dalam undang-undang.
"Di dalam Undang-undang secara limitatif, tidak ditegaskan bahwa pembunuhan berencana itu sendiri bukan merupakan tindak pidana tertentu. Sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 4 tahun 2021," kata Ketut dalam video yang diunggah di akun Instagram Kejaksaan Agung, Minggu (22/1/2022).
"Yang dimaksud tindak pidana tertentu itu secara tegas sudah dijelaskan, yaitu tindak pidana yang terorganisir, apakah itu tindak pidana narkotika, korupsi dan tindak pidana TPPU tindak pidana pencucian uang, tindak pidana trafficing yaitu penjualan orang. Ini yang diatur (JC)," katanya.
Soal tuntutan 12 tahun penjara untuk Bharada E, Ketut menyebut Jaksa Penuntut Umum memiliki pertimbangan.
Bharada E menjalankan peran utama dalam pembunuhan berencana Brigadir Yosua Hutabarat, sebagai eksekutor.
Selain Bharada E, Ferdy Sambo juga dinilai sebagai pemeran utama karena otak pembunuhan berencana.
"Namun demikian, rekomendasi (JC LPSK) ini kami hargai, dan kami akomodir dalam surat tuntutan. Sehingga Bharada E ini mendapat keringanan hukuman daripada pelaku utama yaitu Ferdi Sambo. Sangat jauh juga jaraknya (hukuman dalam tuntutannya)" tuturnya.
"Karena (Bharada E) termasuk saksi yang kooperatif. Saksi yang membuka, saksi yang berkata jujur dan konsisten di persidangan. Kalau seandainya tidak seperti itu, kita samakan tuntutan dengan Ferdy Sambo," katanya.
Ketut pun menjelaskan soal penghapusan pidana dalam KUHP dan membandingkanya dengan JC.
Menurutnya, ada beberapa tindakan pembunuhan yang menghapus unsur pidana seperti algo atau regu tembak yang menjalankan perintah sesuai undang-undang.
"Karena pertanggungjawaban pasal 44 hingga 52 KUHP itu menghilangkan pidana, dan tidak harus di pengadilan. Pertama, saat penelitian tahap pertama. Itu sudah dengan sendirinya tidak sampai di Pengadilan," kata Ketut.
"Kenapa, terkait dengan tadi, kalau dia melakukan perintah undang-undang seperti regu tembak, itu diatur dengan undang-undang, tidak dihukum karena undang-undang yang memerintahkan untuk menghilangkan nyawa orang lain. Inilah yang sering disampaikan oleh beberapa media, ini tidak sama dengan pertanggungjawaban pidana, dengan JC sangat beda," katanya.
Soal keputusan JC bagi Bharada E, Kejaksaan pun menyerahkan hal itu kepada keputusan hakum.
"Ini adalah yang menentukan majelis hakim yang merekomendasikan. Apakah rekomendasi kami itu berupa terdakwa yang bekerja sama secara kooperatif, dengan memberikan keterangan secara jujur, itu sampai di sana, atau nanti memberi JC khusus," kata Ketut.
(redaksi)