Ketua Komisi II DPRD Kalimantan Timur, Sabaruddin Panrecalle mendesak dan meminta klarifikasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Kaltim atas dugaan kredit f...
VONIS.ID, SAMARINDA - Ketua Komisi II DPRD Kalimantan Timur, Sabaruddin Panrecalle mendesak dan meminta klarifikasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Kaltim atas dugaan kredit fiktif Bank Plat Merah di Kalimantan Timur-Kalimantan Utara yang diduga merugikan negara hingga Rp 200 miliar lebih.
Kasus dugaan kredit fiktif ini terus disorot jajaran DPRD Kaltim bukan tanpa alasan. Sebab, mengingat potensi kerugian negara yang mencapai ratusan miliar.
Oleh sebab itu, untuk mengurai dan mencari titik terang dugaan kredit fiktif yang disebut merugikan negara lebih dari Rp 200 miliar itu, Komisi II DPRD Kaltim menegaskan perlunya klarifikasi dan pandangan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Kaltim.
"Kami sejauh ini belum mendapat konfirmasi, dan kami selaku DPRD Provinsi Kalimantan Timur akan meminta klarifikasi dan pandangan dari OJK. Karena ini kan sudah ditangani OJK, tapi ini kan bicaranya sudah teknis," jelas Sabaruddin Panrecalle Ketua Komisi II DPRD Kaltim, Rabu (9/4/2025) malam tadi.
Untuk diketahui, kasus dugaan kredit fiktif ini mulai mencuat ke publik sejak beberapa hari terakhir.
Diinformasikan, kalau dugaan kredit fiktif ini terjadi di dua kantor cabang bank plat merah Kalimantan Timur-Kalimantan Utara yang terletak di Bulungan dan Malinau.
Dari dugaan kasus kredit fiktif itu, diduga kalau negara akan mengalami potensi kerugian hingga Rp 200 miliar.
Dugaan kasus ini pun telah dilaporkan sejumlah mahasiswa dan telah menjadi sorotan Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur.
Sementara itu kembali dijelaskan Ketua Komisi II DPRD Kaltim, Sabaruddin kalau problem keuangan yang terjadi di internal bank plat merah itu juga telah diketahui oleh pihak legislatif saat melaksanakan rapat dengar pendapat alias RDP di Balikpapan dengan pihak terkait pada 25 Maret 2025 kemarin.
"Perusahaan umum daerah (bank plat merah) memang berada di bawah pengawasan OJK. Sehingga kami tidak bisa berspekulasi, karena permasalahan ini cukup bersinggungan dengan sensitivitas, sehingga jangan sampai kami mengatakan begini tapi nantinya tidak terbukti," beber Sabaruddin.
Dilanjutkannya, karena problem yang harus diurai secara teknis, maka sangat penting rasanya klarifikasi oleh pihak berwenang, seperti OJK.
"Maka kita seharusnya, bersama-sama dengan media meminta klarifikasi kepada OJK. Apa responnya ? Apa pandangan dia ? Karena kami memang ingin menggali lebih dalam persoalan itu," tegasnya.
Meski masih berupaya untuk meminta klarifikasi OJK, namun Sabaruddin juga menerangkan kalau pihak dalam waktu dekat akan kembali menggelar RDP bersama bank plat merah yang diduga bermasalah tersebut.
Namun demikian, Sabaruddin merinci kalau agenda ini harus lebih dulu dipastikan agar para unsur pimpinan bank plat merah bisa hadir secara langsung.
"Kita sedang jadwalkan bersama-sama. Dan tentunya kita mau secara paralel, kita mau hadir bersama-sama tidak diwakilkan oleh staf dan tidak dihadiri petingginya karena ada agenda di luar kota," kata Sabaruddin.
"Harapan kita para petinggi perusahaan umum daerah bisa hadir, agar bisa memberi kepastian keputusan di dalam forum (ketika ada komitmen penyelesaian permasalahan)," tandasnya.
Diberitakan sebelumnya, kasus dugaan kredit fiktif yang terjadi di sebuah bank berplat merah di Kalimantan Timur-Kalimantan Utara ini juga telah disorot dan dianalisa Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur.
Hal itu disampaikan Haedar, Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur, Selasa (8/4/2025), kemarin.
"Kita tetap kaji, kita pelajari dulu (dugaan kasus kredit fiktif)," ucap Haedar.
Meski masih melakukan sorotan, namun monitoring Korps Adhyaksa ini akan dilakukan secara ketat. Terlebih mengingat besarnya potensi kerugian negara.
"Setelah kita telaah baru diajukan ke pimpinan. Kita tetap monitor juga terkait itu. Tapi kita pelajari dulu," tambahnya.
Selain masih melakukan pemantauan kasus, Haedar juga menyebut kalau potensi potensi pidana yang terjadi di bank plat merah ini memiliki modus operandi yang nyaris sama dengan kasus yang ditangani Kejaksaan Tinggi Jakarta.
"Dan ini modusnya hampir sama dengan yang terjadi di Bank Jatim. Terkait modus operandinya mirip," tandasnya.
Untuk diketahui, kasus serupa juga terjadi di Bank berplat Merah yang ada di Jakarta. Tepat pada 20 Februari 2025 lalu, Kejaksaan Tinggi Jakarta telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus kredit fiktif dengan kerugian negara ditaksir mencapai Rp 569,4 miliar.
Tiga tersangka yang diamankan pada Februari 2025 itu adalah Kepala Bank Jatim Cabang Jakarta, Benny; pemilik PT Indi Daya Group, Bun Sentoso; serta Direktur PT Indi Daya Rekapratama dan Indi Daya Group, Agus Dianto Mulia.
Kronologi kasus bermula saat tim penyidik Kejati Jakarta mulai memeriksa Benny terkait dengan dugaan manipulasi pemberian kredit di Bank Jatim Cabang Jakarta.
Benny diduga telah memfasilitasi pencairan kredit fiktif kepada PT Indi Daya Group dan PT Indi Daya Rekapratama.
Kredit tersebut diberikan dengan menggunakan agunan atau jaminan dari perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), seolah-olah ada kerja sama dengan BUMN padahal tidak ada.
Selain itu, pencairan dana dilakukan atas nama perusahaan nominee, yaitu perusahaan yang digunakan sebagai kedok untuk mendapatkan kredit dengan dokumen yang telah direkayasa.
Modus operandi yang digunakan dalam kasus ini terbilang sistematis. Perusahaan-perusahaan yang dijadikan sebagai debitur sebenarnya tidak memiliki proyek riil atau kemampuan finansial yang memadai untuk mendapatkan kredit dalam jumlah besar.
Namun, dengan bantuan Benny sebagai Kepala Bank Jatim Cabang Jakarta, proses pencairan kredit tetap dilakukan.
Selain itu, peran Fitri Kristiani juga sangat krusial, karena ia bertindak sebagai penghubung yang mengurus berbagai dokumen yang dibutuhkan dalam skema penipuan ini. T
Tersangka Bun Sentoso dan Agus Dianto Mulia diduga berkolusi dengan Benny untuk mencairkan 65 kredit utang dan 4 kredit kontraktor.
Total kredit yang telah dicairkan mencapai Rp 569,4 miliar. Dana tersebut seharusnya digunakan untuk mendukung proyek-proyek yang didanai melalui kredit modal kerja, tetapi pada kenyataannya, proyek-proyek tersebut tidak pernah ada.
Penyidik Kejati Jakarta menduga bahwa seluruh dana tersebut berasal dari kredit fiktif yang tidak sesuai dengan prosedur perbankan yang berlaku.
Setelah penetapan tersangka, Kejati Jakarta langsung melakukan penahanan terhadap ketiganya. Benny ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung, sementara Bun Sentoso ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, dan Agus Dianto Mulia di Rutan Cipinang.
Sementara itu, Fitri Kristiani baru ditetapkan sebagai tersangka pada 4 Maret 2025 dan akan menjalani pemeriksaan lanjutan untuk mendalami perannya dalam kasus ini.
Selain penahanan, penyidik juga melakukan penggeledahan di beberapa lokasi, termasuk rumah Bun Sentoso dan kantor PT Indi Daya Group.
"Saat ini penggeledahan masih berlangsung," ujar Asisten Pidana Khusus Kejati Jakarta, Syarief Sulaiman Nahdi.
Ia menambahkan bahwa dalam penggeledahan tersebut, penyidik menemukan berbagai dokumen yang diduga kuat berkaitan dengan praktik manipulasi kredit fiktif yang dilakukan oleh para tersangka.
(tim redaksi)