Setelah sepakat, 8 ketua DPC Demokrat itu lantas membuat sebuah grup Whatsapp bernama AGM For Kaltim untuk melakukan koordinasi lanjutan. Kemudian, para pendukung itu sempat dua kali melakukan pertemuan di Samarinda.
Membahas kelanjutan penyerahan berkas dukungan yang telah ditandatangani para Ketua DPC dan diakta notariskan ke DPP Demokrat di Jakarta.
"Setelah itu kami disuruh ke Jakarta untuk menyerahkan itu dan diberi ongkos (Rp 20 juta) untuk akomodasi," jelas Abdullah.
Setelah menyerahkan berkas dukungan suara ke DPP Demokrat, helatan Musda rupanya baru terlaksana pada 17 Desember 2021 berlokasi di Hotel Aston Samarinda.
"Sebelum itu (Musda Demokrat Kaltim) muncul 1 calon alternatif lagi. Karena ada calon baru saudara Irwan, saya merubah dukungan dan itu tidak melanggar persyaratan musda yang butuh 20 persen dukungan suara," tambah Abdullah.
Uang Rp 20 juta yang diterima Abdullah pun sempat ingin dikembalikannya kepada terdakwa Nur Afifah Balgis melalui sopir pribadinya. Namun sang sopir kala itu kesulitan menemukan Nur Afifah Balgis lantaran tak mengenali wajahnya, hingga akhirnya uang pun dikembalikan lagi ke Abdullah.
"Uangnya masih di saya, dan saya siap mengembalikan," akunya.
Berbeda dengan Abdullah, Paul Vius Ketua DPC Demokrat Kubar yang juga sempat mendukung AGM tak pernah mendapat uang Rp 20 juta dari Nur Afifah Balgis. Bahkan dalam persidangan, Paul Vius mengaku tak mengenal Nur Afifah Balgis sebelum adanya peristiwa hukum operasi tangkap tangan (OTT) KPK.
Kendati sempat mendukung AGM namun suara Paul Vius akhirnya juga berubah seperti Abdullah. Dia memberikan dukungannya kepada Irwan yang kini resmi menjabat Ketua DPD Demokrat Kaltim.
"Saya tidak menerima uang itu, karena itu diberikan saat pertemuan di Hotel Mercure (sebelum pelaksanaan musda) dan saya tidak hadir," ucap Paul Vius dalam persidangan.
Ditanya lebih jauh mengenai pengelolaan keuangan partai politik sebab bertalian dengan Nur Afifah Balgis yang memberi Rp 20 juta ke Abdullah, Paul Vius membeberkan bahwa sejatinya hal itu telah tertuang dalam PP nomor 36 tahun 2018 dan terbaru nomor 72 tahun 2020 tentang tara cara pengelolaan uang partai politik.
"Soal iuran partai itu ada dua poin. Pertama dari sumbangan kader, kedua bantuan dari pemerintah terhadap parpol. Kalau poin kedua itu tidak bisa kita belanjakan sesuakanya. Karena peruntukannya jelas dan bendahara tidak menggunakan uang karena harus diplenokan. Cuman yang belum dipahami, belum ada aturan tentang ketika membantu peruntukan kepada perseorangan. Keuangan itu bisa dicairkan bendahara dan ketua," bebernya.